Jumat, 04 November 2011
Akibat Otak dan Tangan Tak Sinkron
Ini Bukan FPK Lho!
Bontang, Kalimantan Timur, 19 Oktober 2011
NB : no coment! cuman bisa ngakak guling-guling sambil njedukin kepala ke bantal (mau ke tembok, keras sih!) wakakakkakkkkkkk
Sisi Lain Mbak Edi (Sepenggal Kisah)
Setiap orang pada dasarnya mempunyai sisi lain dalam kehidupannya yang mungkin tidak tampak di permukaan. Sebagai contoh misalnya saja saya sendiri. Orang mengira selama ini saya adalah perempuan tipikal ceria. Dimana-mana menebar keceriaan. Senangnya cengengesan. Bahkan di postingan yang sifatnya serius pun saya tetap suka cengengesan. Tapi itulah senyatanya saya. Dalam keseharian saya memang selalu ceria. Banyolan-banyolan ala pelawak sering sekali saya lakukan jika sedang berkumpul dengan keluarga besar saya. Tak hanya saya sebenarnya, hampir semua keluarga besar saya senang membanyol. Karena saking seringnya nyeletuk hal-hal yang konyol itulah, maka sampai-sampai kami menggelari keluarga kami sendiri dengan sebutan "keluarga srimulat".
Itu mungkin yang selalu tampak di permukaan, tapi sejujurnya saya mempunyai sisi lain yang bertolak belakang dengan itu. Saya sebenarnya orangnya mudah menangis. Tapi menangis saya bukan karena apa-apa, melainkan lebih pada rasa haru, rasa bahagia, dan juga rasa bangga. Jadi bukan karena sedih saya langsung menangis. Karena pada dasarnya saya bukan tipikal wanita yang "melow". Saya sendiri juga bingung dengan istilah "melow" ini. Apakah ketika saya menangis terharu, atau menangis karena bahagia dan bangga, lantas saya sudah dikatakan "melow", entahlah saya sendiri kurang tahu. Yang jelas begitulah saya, menangis saya hanya terjadi di saat-saat tertentu seperti itu. Tapi jangan dibayangkan saya menangis yang meratap-ratap begitu lho. Menangis saya pun hanya sebatas menitikkan air mata, itupun buru-buru akan saya hapus ketika ada orang lain yang melihatnya. Jadi kesannya malah nangis jaim gitu kali ya. Tapi ya begitulah, saya memang malu kalo sampai ketahuan orang lain sedang menangis. Saya berpikiran, biarlah saya menangis asalkan orang lain jangan sampai tahu. Malu kali ya kalo sampai ada yang bilang "Mbak Edi menangis, apa kata dunia?" hehehehe.
Ya begitulah sisi lain dari saya. Sebagai contoh ketika kemarin saat saya ulang tahun yang ke-38 (sudah tuwir ya, biarin tuwir yang penting tetap seksi hahaha). Banyak sekali ternyata yang perhatian dengan saya. Banyak sekali yang mengucapkan selamat ultah buat saya, baik lewat sms, lewat postingan di Kompasiana ini, lewat inbox, lewat FB, lewat YM, ataupun secara langsung. Dan karena mungkin tidak semuanya dapat saya balas satu persatu, maka pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian teman-teman semua. Terima kasih atas doanya. Mudah-mudahan Allah membalas kebaikan teman-teman semua. Bahagia, senang, bangga sekaligus haru menjadi satu. Karena itulah saya pun menitikkan air mata. Betapa bahagia, senang dan bangganya saya bisa berteman dengan para penulis hebat di Kompasiana ini. Walaupun sebagian besar belum pernah bertemu, tapi mereka masih mau meluangkan sejenak perhatian ke saya, itu sungguh mengharukan bagi saya. Maka wajar jika saya pun sampai menitikkan air mata.
Dari sekian banyak ucapan ultah yang saya terima kemarin, ini adalah salah satunya.
My dearest sister, Edi Kusumawati Adi Cahya,,
It's been nearly 1,5 years,
We haven't seen each other,,
And for nearly 1.5 years,
I've been missing you,,
Dear sister,,
Do you still remember the time when this baby Ana ran away from you
because you forced her to take a bath?
You ran fast after her,,
showing yourself couldn't be beaten by this such tiny brat,,
And this baby Ana, with her short legs and tiny feet, was easily caught by you.
Then she cried,,
She cried loudly,,
She cried cause she knew she had failed,,
"If only I could run faster,, If only I could have longer legs, bigger feet,, Not much, just like hers."
This is what the baby Ana was saying to herself when you dragged her to the bathroom.
Since the bathroom drama, I've always learned from you,,
How to be tough, how to be strong, how to be independent,
How to care...
Thank you Mbak Edi,
You're 38 now,,
Wish you to be a better wife, a better Mom, a better daughter, a better friend, and a better sister.
Happy Birthday :)
Ini adalah ucapan yang saya terima dari adik bungsu saya (kebetulan ia Kompasianer juga). Membaca ucapan itu membuat saya terharu. Ana (adik saya itu) sedikit banyak mewarisi sifat-sifat saya. Ana juga cenderung keras kepala seperti saya, apalagi kalo sedang mempertahankan pendapat yang dirasanya benar. Mungkin karena sebagian besar sifatnya sama dengan saya, orang tua saya selalu "mempercayakan" segala permasalahan tentang Ana ini ke saya selaku kakak sulungnya. Dan memang kenyataannya Ana ini hanya bisa menurut dengan omongan saya dibandingkan dengan dua orang kakak lainnya. Dan gara-gara ucapan yang kemarin dia kirim saat ultah saya itulah, saya tahu betapa dia selama ini memang banyak belajar dari saya. Sungguh saya terharu dibuatnya hiks...hiks...lebay ya.
Kebanggaan saya terhadap bapak ini mungkin tidak disadari oleh Ana. Bisa jadi karena faktor usia kali ya, mengingat jarak usia saya dengan Ana terpaut hampir 13 tahun. Jadi ketika Ana masih kecil, dia belum tahu betapa kami dulu hidup susah. Semua pekerjaan rasanya sudah pernah dilakoni oleh bapak (juga ibu) demi bisa membiayai kehidupan kami sekeluarga. Jatuh bangun dalam usaha sudah sering menimpa keluarga kami, dan waktu itu Ana masih kecil. Dari situlah saya belajar banyak. Bagaimana usaha bapak dan ibu demi anak-anaknya (yang 4 orang) tetap bisa sekolah bahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Alhamdulillah keempat saudara kakak beradik ini akhirnya mampu menyelesaikan kuliahnya masing-masing dalam waktu singkat (kurang dari 5 tahun dan 2 diantaranya bisa cumlaude di Universitas Negeri ternama di Yogyakarta). Sungguh itu suatu kebahagiaan yang tak terhingga bagi kedua orang tua saya. Melihat keempat anaknya bisa memperoleh gelar sarjana S1, sementara mereka berdua bukanlah orang yang berpendidikan tinggi karena pendidikan bapak ibu saya hanya setara SMP sekarang. Dan menyekolahkan kami empat bersaudara ini ke jenjang perguruan tinggi bagi kami anak-anaknya ini adalah warisan yang tak ternilai harganya. Selanjutnya kami mau "jadi apa" selepas kuliah adalah sepenuhnya diserahkan kepada kami anak-anaknya. Dan Alhamdulillah juga ketiga adik saya sudah mandiri semua (satu bekerja di bagian accounting di salah satu pusat perbelanjaan, satu PNS di DEPKUMHAM, dan si bunggu Ana bekerja sebagai guru bahasa Inggris). Hanya saya saja yang memutuskan berhenti bekerja setelah menikah. Semua itu sudah sangat membahagiakan hati orang tua saya.
Rabu, 07 September 2011
Belajar Membuang Sampah!!
Beberapa hari yang lalu saya pergi ke sekolahan anak saya dengan maksud untuk membayar uang SPP. Setelah sampai di sekolah, saya langsung menuju suatu ruangan yang biasa disebut dengan "bank sekolah". Setelah mengisi slip pembayaran, teller kemudian memprosesnya dan selesailah urusan saya hari itu. Tidak terlalu lama hanya sekitar 10 menit. Kebetulan hari itu antrian memang tidak terlalu banyak, hanya ada sekitar 5 orang yang dilayani oleh mbak teller yang menurut saya lumayan ramah itu.
Setelah beres, saya keluar dari ruangan itu dan menuju tempat sampah. Saya bermaksud membuang blangko slip SPP yang tidak terpakai karena tadi saya sempat melakukan kesalahan dalam pengisian. O...lala...ternyata ada tempat sampah "baru" yang saya lihat hari itu. Tempat sampah yang menurut saya lain dari biasanya. Maksud saya baru kali ini saya melihat tempat sampah model begini di lingkungan sekolah anak saya, kalau di tempat lain sih saya pernah melihatnya. Biasanya di sekolah anak saya ini hanya ada satu tempat sampah di setiap ruangan, baik itu ruang kelas ataupun ruangan lainnya. Tapi kali ini lain, ada tiga tempat sampah sekaligus di depan ruang pembayaran SPP tadi.
Penasaran sekaligus iseng, saya akhirnya mencoba sedikit "masuk" (sedikit saja sih karena sekolah anak saya ini kebetulan sekolah terpadu, dari TK sampai perguruan tinggi ada disana, bahkan rumah sakit dan apotik juga ada lho!) ke areal sekolah sembari mengedarkan pandangan mata. Siapa tahu saya menjumpai tempat sampah yang sama seperti di ruang pembayaran SPP tadi. Dan ternyata benar, di depan ruang kelas masing-masing terdapat tempat sampah yang sama. Ketiga tempat sampah itu dikaitkan satu sama lain dengan penyangga besi. Masing-masing tempat sampah diberi label yang berbeda, tergantung dari jenis sampahnya. Ada yang khusus untuk sampah berupa daun dan kertas. Ada yang untuk sampah plastik, logam, kaca dan kaleng. Dan yang terakhir khusus sampah yang berupa sisa makanan. Good job!!
tempat sampah dengan label berbeda disesuaikan dengan jenis sampahnya
Sembari melihat murid-murid yang sedang asyik bermain (kebetulan saat itu jam istirahat pertama), pandangan saya tertuju pada salah satu spanduk yang tergantung di depan salah satu ruang kelas. Bukan spanduknya yang menarik perhatian saya, melainkan apa yang tertulis di spanduk itu. Spanduk itu berbunyi begini : "KEBERSIHAN MILIK KITA!!!!! Konsekwensi Membuang Sampah Sembarangan Memungut Sampah Sepuluh Kali Tingkat Kelasnya".
spanduk yang berisi "sanksi" itu
Terus terang saya kurang paham dengan maksud tulisan itu. Begitu sampai rumah saya langsung bertanya pada anak saya apa maksud tulisan itu. Dengan gamblang dia menjelaskan bahwa di sekolahnya jika ketahuan membuang sampah sembarangan akan di hukum untuk memungut sampah sebanyak 10 kali tingkat kelasnya. Maksudnya jika murid tersebut adalah kelas 4, maka dia harus memungut sampah 40 kali. Bisa sampah daun, sampah plastik ataupun sampah kertas.
Wah, ini baru kemajuan! Kenapa saya katakan demikian? Saya masih ingat dulu waktu anak saya kelas 1 (sekarang sudah kelas 5), di tempat tergantungnya spanduk itu juga ada spanduk lain yang "nada"-nya hampir sama. Spanduk itu juga berisi peringatan jika ada yang ketahuan membuang sampah sembarangan akan kena "hukuman". Hanya saja spanduk yang dulu "hukumannya" berupa denda uang sebesar Rp 1.000,00. Selanjutnya uang hasil "denda" itu dipergunakan untuk infak masjid sekolah yang kebetulan saat itu masih dalam proses pembangunan. Mungkin saja cara denda uang dipandang tidak efektif (buktinya anak saya dulu sering minta uang saku lebih hanya gara-gara kena denda) sehingga pihak sekolah perlu merubah menjadi hukuman memungut sampah. Dan kenyataannya sekarang halaman sekolah tampak jauh lebih bersih dibandingkan dulu. Murid-murid mungkin merasa enggan (bercampur malu, setidaknya itu yang dikatakan anak saya lho!) kalau harus memunguti sampah sembari dilihat oleh teman-teman yang lainnya. Apalagi kalau anak tersebut kelas 6, wah bisa pegel juga kalau harus memunguti sampah sebanyak 60 kali.
halaman sekolah, tampak bersih
Kebijakan sekolah yang memberikan sanksi bagi murid yang membuang sampah sembarangan, patut saya acungi jempol. Apalagi dengan dibarengi oleh adanya penambahan fasilitas tempat sampah "baru", wah makin salutlah saya dengan sekolahan anak saya itu. Dengan adanya tempat sampah "baru" tersebut, secara tidak langsung murid-murid telah diajarkan tentang bagaimana cara "memperlakukan" sampah dengan benar. Sampah yang bisa didaur ulang dan yang tidak bisa telah dipisahkan. Begitu pula sampah yang bisa diurai oleh alam dan yang tidak juga telah dipisahkan.
Belajar membuang sampah rupanya memang harus dibudayakan semenjak dini. Seringkali kita yang mengaku sudah dewasa ini (termasuk saya tentunya!) masih saja salah "memperlakukan" sampah secara benar. Tentang hal ini, saya jadi teringat dengan kisah seorang teman yang waktu itu sedang tugas di luar negeri. Karena tugasnya tersebut, maka teman saya tadi menginap di salah satu hotel berbintang dalam waktu beberapa hari. Kebetulan di kamar hotel tempatnya menginap disediakan beberapa kantong sampah. Anehnya selama beberapa hari menginap, kantong sampah yang ada dikamar itu tidak pernah diambil oleh cleaning service hotel. Teman saya tadi tentu saja heran mengingat tarif hotel yang menurutnya lumayan mahal (ratusan dollar), tapi pelayanannya sangat jauh dari memuaskan. Usut punya usut ternyata teman saya tadi telah salah "memperlakukan" sampah. Seharusnya dia membuang kaleng bekas softdrink dan kertas coretan-coretan dari blocknote-nya sesuai dengan label yang ada di kantong sampah itu. Akhirnya dengan sedikit dongkol, teman saya tadi memilah-milah sampah di kamarnya itu dan menempatkannya sesuai jenisnya. Keesokan harinya ketika masuk kamarnya selepas meeting di luar, teman saya tadi menjumpai kantong sampah yang beberapa hari lalu tidak disentuh oleh pihak hotel telah diganti dengan kantong sampah yang baru.
Cinta Kasih dalam Sebungkus Nasi Padang
Setelah membaca status beberapa teman di facebook, perhatianku lebih tertuju pada status teman SMA-ku. Heni namanya (jangan GR lho Hen, namamu kusebut disini hehehe). “Berkasih sayang tidaklah harus menunggu hari ini, 14 Februari, yang datangnya hanya setahun sekali. Demikian juga bermaaf-maafan tidaklah harus menunggu datangnya hari lebaran. Setiap waktu, setiap ingat, dan setiap ada kesempatan mari kita lakukan”, begitu kira-kira Heni menuliskan statusnya. Dalam sekali maknanya menurutku, dan tanpa pikir panjang aku langsung memberikan komen “like this” di statusnya itu. Tetapi diujung statusnya Heni memberi catatan “siap menerima kiriman coklat setiap saat”. Halaah…ujung-ujungnya koq ya coklat. Kenapa mesti coklat sih? Emang gak bisa diganti uang ya hehehe (mauku sih!).
Bu Menkes, Saya Gemes Deh Sama Ibu!
Dan beberapa hari ini saya dibuat kesal, dongkol, jengkel, gemes, deg-degan dan juga was-was. Pokoknya kalau digambarkan lengkap sekali perasaan saya beberapa hari ini. Dan saya yakin perasaan yang sama juga dirasakan oleh beribu atau bahkan berjuta ibu yang mempunyai anak batita/balita seperti saya. Bagaimana tidak kesal, dongkol, jengkel, etc kalau hanya sekedar pengin tahu merek susu formula yang katanya terjangkit bakteri sakazakii saja, saya atau mungkin juga ibu-ibu yang mempunyai anak batita/balita se-Indonesia ini harus menunggu cukup lama. Saya yang orang awam dalam bidang kesehatan saja merasa bahwa ini bukan masalah yang sepele. Terutama kalau mengingat efek yang ditimbulkan dari bakteri berbahaya ini, yang katanya bisa menimbulkan sakit radang selaput otak atau meningitis, radang usus halus dan usus besar (enterokolitis), dan juga kematian sel (necrosis). Ibu mana coba yang bisa tenang-tenang saja kalau anaknya ternyata mengidap berbagai penyakit itu hanya karena mengkonsumsi susu formula merek tertentu. Apalagi konon ada sekitar 13,5% dari 74 sempel susu formula yang telah diteliti ternyata terkontaminasi bakteri sakazakii itu. Wah saya pikir ini bukan hal yang main-main lagi. Menurut saya itu adalah jumlah yang cukup banyak. Dan kenyataannya sampai sekarang belum juga diumumkan merek susu formula apa saja yang telah tercemar bakteri itu.
Kemarin Cabe, Sekarang Kedelai, Besok Apalagi Nih Pak Beye?
Anakku keturunan Cina (juga)
Keluarga besar mama sesaat sebelum upacara kremasi Mak Co sekitar 1 tahun lalu. Ada yang beragama Islam, Kristen, dan ada juga yang Katolik. (ini belum semua anak dan cucu mama hadir disini lho!) |