Rabu, 20 Juni 2012

Kepemimpinan Perempuan : Sebuah Paradigma Baru

Kita tentu pernah mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa perempuan itu sekedar konco wingking (teman di belakang atau di rumah). Ibaratnya cuma bisa masak, macak (berhias) dan manak (melahirkan). Ungkapan itu sebenarnya lebih didasari pada pandangan bahwa perempuan itu tugasnya lebih dominan di sektor domestik. Memasak, melahirkan dan mengurus keluarga memang seharusnya menjadi tugas perempuan sebagai ibu rumah tangga. Jadi sudah kodratnya jika perempuan itu tugasnya tidak jauh-jauh dari semua yang berbau sumur, kasur dan pupur (bedak). Sementara tugas laki-laki lebih dominan di sektor publik. Jadi mencari nafkah untuk keluarga adalah kewajiban kaum laki-laki sebagai kepala keluarga.

Di jaman dulu perempuan juga tidak diwajibkan mengenyam pendidikan karena pendidikan memang hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki. Untuk apa sekolah tinggi-tingi, toh nantinya juga cuma bekerja di dapur? Pandangan seperti ini sudah lama melekat di kalangan masyarakat kita. Sebagai suatu konstruksi sosial, paradigma semacam ini sudah selayaknya diubah. Sekarang jaman sudah berubah. Di era serba modern ini, perempuan sudah boleh bekerja di sektor publik. 

Seiring dengan kemajuan teknologi, perempuan sekarang sudah banyak yang melek teknologi. Perempuan sekarang juga sudah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi.  Perempuan tidak bisa dipandang lagi sebelah mata.  Pada akhirnya banyak sekali profesi yang dulunya dominan dilakukan oleh laki-laki, sekarang menjadi lazim dilakukan oleh perempuan. Lihat saja berapa banyak perempuan yang menduduki jabatan direktur, manajer, atau bahkan arsitek. Jabatan-jabatan tersebut umumnya dulu diduduki oleh kaum laki-laki. Tapi seiring dengan kemajuan jaman, hal itu memungkinkan dijabat oleh perempuan. Perubahan paradigma inilah yang memungkinkan perempuan menjadi pemimpin. Jaman sekarang perempuan juga bisa menjadi kepala negara, bisa menjadi menteri dan juga anggota dewan. 

Apakah dalam kondisi  ini bisa disebut sebagai perempuan yang menyalahi kodrat? Saya rasa tidak. Di jaman globalisasi ini “bertukar peran” antara tugas kaum laki-laki dengan kaum perempuan, atau sebaliknya bukan hal yang baru. Apalagi dengan didukung adanya isu kesetaraan gender, laki-laki berprofesi di bidang yang mayoritas ditekuni perempuan atau sebaliknya perempuan berkutat di bidang pekerjaan yang mayoritas ditekuni oleh laki-laki sudah jamak terjadi. Jadi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan permasalahan menyalahi kodrat.

Sebagai kasus misalnya seorang ibu rumah tangga yang semula hanya bekerja di lingkup domestik, memasak, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah tangga pada umumnya, tiba-tiba harus bekerja di sektor publik menjadi tukang becak gara-gara suaminya sakit. Apakah kondisi seperti ini dapat disamakan dengan menyalahi kodrat? Saya lebih sepakat jika hal demikian lebih dikarenakan oleh tuntutan hidup. Kalau bukan karena tuntutan dapur agar tetap mengebul, tentunya ibu tadi tidak akan bertindak "menyalahi kodrat"nya. Toh masih banyak pekerjaan lain yang lebih feminim daripada menjadi tukang becak. 

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan itu kodratnya mengandung dan melahirkan. Sementara kaum laki-laki kebagian “jatah” untuk membuahi perempuan. Kodrat inilah yang tidak mungkin bisa diubah. Selebihnya paradigma tentang perempuan itu bisanya cuma masak, manak dan macak masih bisa diubah. Dengan pandangan yang baru tentang peran perempuan tak harus melulu di sektor domestik menjadikan kita tidak akan asing melihat para bapak memandikan anaknya atau memberikan susu formula untuk anaknya seperti foto dibawah ini, manakala istri sedang bekerja diluar rumah. 

9 komentar:

  1. Ini dalam rangka apa, mbak Edi?

    BalasHapus
  2. dalam rangka ikutan ini http://www.facebook.com/notes/tim-bui/pendaftaran-kompetisi-multimedia/304906049583349

    BalasHapus
  3. menyalahi kodrat? tampaknya bukan jugalah mbak.
    sederhananya, kalo memang wanita itu berprestasi dan cerdas, masa gak dimaksimalkan potensinya toh...

    jadi, semisal pun dalam keluarga, si wanita berganti peran dengan pria pun, saya rasa sah-sah saja. yang pasti, tetap dibicarakan dengan baik :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul kei, dijaman sekarang dimana wawasan kita jg semakin berkembang, tak ada salahnya jika wanita ikut berperan dlm segala bidang, tanpa membedakan gender, sepanjang wanita itu memang mempunyai potensi atau kapasitas ke arah sana, why not?

      Hapus
  4. Wah...opini yang menarik mengenai 'kodrat wanita'. Namun, Paradigma yang baru ttg wanita itu saya rasa hanya bertengger di lapisan orang kaya dan berpendidikan.
    Jaman sekarang masih ada loh yang mengangap wanita tak perlu bersekolah tinggi2. Yah...kira2 puber langsung bisa dinikahkan laah. Itu dapat kita lihat di kehidupan keluarga yang miskin dan tidak berpendidikan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mba jennie, memang tdk bisa dipungkiri, dibanyak tempat msh kita jumpai pandangan seperti itu, utk apa sekolah yg tinggi2 toh nanti jg ujung2nya nikah dan punya anak tho :D

      Hapus
  5. Wow, ini dia tulisan yang menangin motor,

    keren. luar biasa, dan menginspirasi Mbak Edi...


    Selamat ya:)

    BalasHapus