Jumat, 04 November 2011

Akibat Otak dan Tangan Tak Sinkron


Pagi ini saya pengin curhat lagi. Ya maklumlah emak-emak ini bisanya cuman curhat sih, gak bisa nulis yang serius.   Mudah-mudahan teman-teman belum bosan mendengarkan curhat saya ya hehehe. Baiklah saya mulai saja ya curhat saya yang sebenarnya nggak penting sih, cuman daripada gak punya sambilan mendingan buat curhatan aja tho. Saya khan memang sukanya nyambi-nyambi gini. Nyuapin anak sambil nulis, nyuci sambil online, atau masak nyambi makan (belum mateng semua sudah dimakan hehehe). Akibat sering nyambi-nyambi inilah, makanya belakangan ini saya mengalami gejala ketidaksinkronan antara otak dan tangan. Sebenarnya ini sudah sering saya alami, dan saya sampai bingung juga kenapa hal ini bisa sering terjadi.
Salah satu ketidaksinkronan antara otak dan tangan misalnya saja yang semalam terjadi. Waktu itu saya bermaksud mengambil sirup untuk saya tuang ke gelas yang saya pegang. Entah mengapa saya bukannya memegang botol sirup, tapi malahan mengambil centong nasi yang nempel di magic jar. Kebetulan botol sirup itu letaknya memang disamping magic jar. Dengan santainya saya ambil secentong nasi dan saya taruh di gelas saya yang memang lumayan besar. Anehnya saya baru nyadar ketika mau nuang air dingin dari kulkas. Walah koq ternyata gelas saya isinya nasi bukan sirup...weleh...weleh... Nggak sinkron banget khan?
Sayangnya kejadian yang model begini sering lho! Pernah tuh saya mau ngambil kunci mobil, yang saya ambil ternyata kunci motor. Dengan santainya pula saya colokin tuh kunci motor ke mobil. Setengah mati nggak bisa-bisa, barulah saya sadar kalo saya salah ambil kunci. Atau misalnya saja mau nyalakan motor, eh saya ambil kunci rumah . Waktu itu saya tetap nggak nyadar tuh nyolokin kunci rumah ke motor saya. Saya sampai teriak-teriak ke suami saya yang kebetulan sedang ada di rumah. Begitu dia keluar melihat apa yang terjadi, bukannya bantu malah ngakak suami saya sambil berkata "mbok sampai lebaran monyet, juga nggak akan nyala motormu!" (emang ada ya lebaran monyet tuh, kapan?) Ada lagi misalnya mau bikin ceplok telur buat anak saya. Wajan dan minyak goreng sudah saya tuang. Kompor juga sudah saya nyalakan. Giliran mecahin telur, eh bukannya saya tumpahin ke wajan, tapi malah saya tumpahin ke panci sayur yang ada disamping wajan. Koplak nggak tuh! Huwahahaha....parah sekali kayaknya ketidaksinkronan antara otak dan tangan saya ya.
Bisa saja ini karena saya suka melakukan sesuatu sambil nyambi-nyambi gitu kali ya. Pikiran jadi bercabang rasanya. Otak kemana, tangan kemana, nggak jelas gitu. Untung saja (masih saja ada untung hehehe) saya nggak pernah naik motor nyambi sms. Kalo itu juga saya lakukan, saya nggak jamin apakah masih ada nyawa serep di badan saya. Lho ibarat kata, nyawa saya ini pernah juga pakai serep lho (halah kayak ban saja ya). Kata orang tua saya malah serepnya 3 hehehe. Bagaimana tidak, waktu masih muda (sekarang juga masih muda ding hehehe) saya pernah beberapa kali jatuh dari motor. Mulai dari motor yang sampai patah stangnya, motor yang tebengnya pecah, atau sampai pernah jatuh dari boncengan teman yang naik motor gara-gara boncengnya nyengklak (apa ya bahasa Indonesianya?) Badan saya memang bonyok, baju juga sampai robek-robek kena aspal, eh untungnya nggak sampai gegar otak (hahaha masih saja untung dibawa-bawa lagi). Nah karena sudah lumayan sering jatuh dari motor, makanya saya sekarang nggak mau tuh nyambi-nyambi kalo lagi nyetir. Bisa saja khan nyawa saya jadi nggak betah bersemayam di tubuh saya. Cari mati namanya. Yang ada ya pasti wassalam tho. Tapi kalo "hanya" trabas-trabas trotoar masih berani saya (nggak ada hubungan ya, yoben!). Paling-paling kalo apes ya kena tilang, gitu aja. Nggak parah-parah amat hehehe.
Ya sudah itu saja sekedar curhat saya. Mudah-mudahan teman-teman nggak pernah mengalami kejadian seperti saya. Nggak pernah suka nyambi-nyambi seperti saya. Cukup saya saja yang koplak ya, jangan ikut-ikutan! Ingat RSJ sudah mulai penuh, nggak bisa lagi nampung penghuni baru hehehe.







Ini Bukan FPK Lho!


Cintaku...
Itulah dirimu, yang selalu bersemu merah pipimu..
Ketika kukecup mesra keningmu dan kuungkapkan rasa rinduku padamu…
Atau ketika kubacakan puisi cintaku di musim penghujan ini.
Tiada henti bibirmu menyunggingkan senyum disertai lesung pipitmu itu..
Kemudian berubahlah pipimu itu makin memerah dan memerah lagi...
merah merona, bersinar mekar laksana bunga mawar...


mawar merah (gambar dari google)
mawar merah (gambar dari google)


Wahai kusuma..
Aku titipkan puisi ini untuk cintaku…
Wahai angin yang berhembus....
Sampaikanlah kepada kekasih hatiku...
Cintaku....
Hembusan angin dimusim penghujan ini..
Telah menebarkan bau semerbak harum bunga mawar itu…
Kusuma yang tidak akan pernah layu sepanjang musim penghujan ini.
Begitupun pesona dirimu cintaku...
Tidak akan pernah pudar dalam diriku..
Wahai istriku, cintaku....
Harum bunga mawar dihalaman rumah kita itu...
Telah membangkitkan gairah cintaku.
Membangkitkan gairah asmaraku padamu kekasihku...
Setiap kali kuingat dirimu yang tak pernah layu..
Meskipun lelah dan letih senantiasa bersamamu sepanjang waktu...
Namun kamu tak pernah meragu cintaku...
Duhai kasihku cintaku...
Dirimu harum semerbak seharum mawar itu…
Warna merahmu selalu abadi
Laksana warna cintaku padamu kekasihku

Wahai kusumaku..
Sekarang ini usiamu baru menginjak angka tiga puluh sekian...
Tapi bagiku dirimu lebih pantas berada diangka dua puluh sekian...

Karena bagiku dirimu selalu tampak muda dengan warna merah meronamu itu...
Lagipula buah cinta kitapun juga baru dua, kekasihku...
Masih ada kemungkinan untuk menambah buah hati lagi
Sebagai bukti cintaku padamu kasihku..



Istriku, cintaku, kekasihku, pujaan hatiku

Selamat ulang tahun cintaku
Suamimu selalu mencintaimu dengan apa adanya dirimu
Aku akan selalu ada di sampingmu, menjagamu dan melindungimu..
Itu janjiku padamu kekasihku...
Mendampingimu selalu...
Aahhh kasihku,
Kini aku sadar betapa aku semakin mencintaimu...
Aku merasa semakin membutuhkanmu...
Untuk berbagi rasa cinta padamu...
Semoga rasa ini tetap abadi, seabadi bunga mawar itu.....

Bontang, Kalimantan Timur, 19 Oktober 2011


NB : no coment! cuman bisa ngakak guling-guling sambil njedukin kepala ke bantal (mau ke tembok, keras sih!) wakakakkakkkkkkk

Sisi Lain Mbak Edi (Sepenggal Kisah)


Setiap orang pada dasarnya mempunyai sisi lain dalam kehidupannya yang mungkin tidak tampak di permukaan. Sebagai contoh misalnya saja saya sendiri. Orang mengira selama ini saya adalah perempuan tipikal ceria. Dimana-mana menebar keceriaan. Senangnya cengengesan. Bahkan di postingan yang sifatnya serius pun saya tetap suka cengengesan. Tapi itulah senyatanya saya. Dalam keseharian saya memang selalu ceria. Banyolan-banyolan ala pelawak sering sekali saya lakukan jika sedang berkumpul dengan keluarga besar saya. Tak hanya saya sebenarnya, hampir semua keluarga besar saya senang membanyol. Karena saking seringnya nyeletuk hal-hal yang konyol itulah, maka sampai-sampai kami menggelari keluarga kami sendiri dengan sebutan "keluarga srimulat".
Itu mungkin yang selalu tampak di permukaan, tapi sejujurnya saya mempunyai sisi lain yang bertolak belakang dengan itu. Saya sebenarnya orangnya mudah menangis. Tapi menangis saya bukan karena apa-apa, melainkan lebih pada rasa haru, rasa bahagia, dan juga rasa bangga. Jadi bukan karena sedih saya langsung menangis. Karena pada dasarnya saya bukan tipikal wanita yang "melow". Saya sendiri juga bingung dengan istilah "melow" ini. Apakah ketika saya menangis terharu, atau menangis karena bahagia dan bangga, lantas saya sudah dikatakan "melow", entahlah saya sendiri kurang tahu. Yang jelas begitulah saya, menangis saya hanya terjadi di saat-saat tertentu seperti itu. Tapi jangan dibayangkan saya menangis yang meratap-ratap begitu lho. Menangis saya pun hanya sebatas menitikkan air mata, itupun buru-buru akan saya hapus ketika ada orang lain yang melihatnya. Jadi kesannya malah nangis jaim gitu kali ya. Tapi ya begitulah, saya memang malu kalo sampai ketahuan orang lain sedang menangis. Saya berpikiran, biarlah saya menangis asalkan orang lain jangan sampai tahu. Malu kali ya kalo sampai ada yang bilang "Mbak Edi menangis, apa kata dunia?" hehehehe.
Ya begitulah sisi lain dari saya. Sebagai contoh ketika kemarin saat saya ulang tahun yang ke-38 (sudah tuwir ya, biarin tuwir yang penting tetap seksi hahaha). Banyak sekali ternyata yang perhatian dengan saya. Banyak sekali yang mengucapkan selamat ultah buat saya, baik lewat sms, lewat postingan di Kompasiana ini, lewat inbox, lewat FB, lewat YM, ataupun secara langsung. Dan karena mungkin tidak semuanya dapat saya balas satu persatu, maka pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian teman-teman semua. Terima kasih atas doanya. Mudah-mudahan Allah membalas kebaikan teman-teman semua. Bahagia, senang, bangga sekaligus haru menjadi satu. Karena itulah saya pun menitikkan air mata. Betapa bahagia, senang dan bangganya saya bisa berteman dengan para penulis hebat di Kompasiana ini. Walaupun sebagian besar belum pernah bertemu, tapi mereka masih mau meluangkan sejenak perhatian ke saya, itu sungguh mengharukan bagi saya. Maka wajar jika saya pun sampai menitikkan air mata.
Dari sekian banyak ucapan ultah yang saya terima kemarin, ini adalah salah satunya.
My dearest sister, Edi Kusumawati Adi Cahya,,
It's been nearly 1,5 years,
We haven't seen each other,,
And for nearly 1.5 years,
I've been missing you,,
Dear sister,,
Do you still remember the time when this baby Ana ran away from you
because you forced her to take a bath?
You ran fast after her,,
showing yourself couldn't be beaten by this such tiny brat,,
And this baby Ana, with her short legs and tiny feet, was easily caught by you.
Then she cried,,
She cried loudly,,
She cried cause she knew she had failed,,
"If only I could run faster,, If only I could have longer legs, bigger feet,, Not much, just like hers."
This is what the baby Ana was saying to herself when you dragged her to the bathroom.
Since the bathroom drama, I've always learned from you,,
How to be tough, how to be strong, how to be independent,
How to care...
Thank you Mbak Edi,
You're 38 now,,
Wish you to be a better wife, a better Mom, a better daughter, a better friend, and a better sister.
Happy Birthday :)

Ini adalah ucapan yang saya terima dari adik bungsu saya (kebetulan ia Kompasianer juga). Membaca ucapan itu membuat saya terharu. Ana (adik saya itu) sedikit banyak mewarisi sifat-sifat saya. Ana juga cenderung keras kepala seperti saya, apalagi kalo sedang mempertahankan pendapat yang dirasanya benar. Mungkin karena sebagian besar sifatnya sama dengan saya, orang tua saya selalu "mempercayakan" segala permasalahan tentang Ana ini ke saya selaku kakak sulungnya. Dan memang kenyataannya Ana ini hanya bisa menurut dengan omongan saya dibandingkan dengan dua orang kakak lainnya. Dan gara-gara ucapan yang kemarin dia kirim saat ultah saya itulah, saya tahu betapa dia selama ini memang banyak belajar dari saya. Sungguh saya terharu dibuatnya hiks...hiks...lebay ya.

bapak saya ketika berorasi di depan kraton Yogyakarta (ceritanya hehehe)


Dimata Ana, saya mungkin tampak kuat dan mandiri. Tapi sejujurnya saya bisa begitu justru karena saya belajar dari bapak saya sendiri. Bapak saya sendiri adalah seorang yang saya idolakan. Istilahnya saya ngefans berat sama bapak saya itu hehehe. Jiwa kepemimpinan bapak sudah saya lihat sejak kecil. Mulai saya kecil, bapak sudah sibuk jadi ketua RT, ketua RW dan beberapa posisi ketua-ketua yang lain, baik di bidang keagamaan maupun kesenian. Bahkan sampai sekarang pun bapak saya juga masih menjabat sebagai ketua di salah satu organisasi sosial (pengusaha eh pedagang ceritanya hehehe) di Yogyakarta. Mungkin gara-gara itu pula, maka bapak saya diwawancarai oleh wartawan RCTI. Ceritanya bapak saya jadi seleb sehari gitu pas acara Seputar Indonesia siang pada hari Selasa kemarin hehehe. Kebetulan khan kemarin di Yogyakarta ada perhelatan agung, yaitu pernikahan putri Sri Sultan HB ke-X. Bapak yang kebetulan jadi panitia seksi sibuk, ikutan memantau acara kerja bakti pemasangan janur atau umbul-umbul di sepanjang jalan Malioboro gitu. Terus-terang saya bangga bapak saya masuk televisi hehehe.
Kebanggaan saya terhadap bapak ini mungkin tidak disadari oleh Ana. Bisa jadi karena faktor usia kali ya, mengingat jarak usia saya dengan Ana terpaut hampir 13 tahun. Jadi ketika Ana masih kecil, dia belum tahu betapa kami dulu hidup susah. Semua pekerjaan rasanya sudah pernah dilakoni oleh bapak (juga ibu) demi bisa membiayai kehidupan kami sekeluarga. Jatuh bangun dalam usaha sudah sering menimpa keluarga kami, dan waktu itu Ana masih kecil. Dari situlah saya belajar banyak. Bagaimana usaha bapak dan ibu demi anak-anaknya (yang 4 orang) tetap bisa sekolah bahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Alhamdulillah keempat saudara kakak beradik ini akhirnya mampu menyelesaikan kuliahnya masing-masing dalam waktu singkat (kurang dari 5 tahun dan 2 diantaranya bisa cumlaude di Universitas Negeri ternama di Yogyakarta). Sungguh itu suatu kebahagiaan yang tak terhingga bagi kedua orang tua saya. Melihat keempat anaknya bisa memperoleh gelar sarjana S1, sementara mereka berdua bukanlah orang yang berpendidikan tinggi karena pendidikan bapak ibu saya hanya setara SMP sekarang. Dan menyekolahkan kami empat bersaudara ini ke jenjang perguruan tinggi bagi kami anak-anaknya ini adalah warisan yang tak ternilai harganya. Selanjutnya kami mau "jadi apa" selepas kuliah adalah sepenuhnya diserahkan kepada kami anak-anaknya. Dan Alhamdulillah juga ketiga adik saya sudah mandiri semua (satu bekerja di bagian accounting di salah satu pusat perbelanjaan, satu PNS di DEPKUMHAM, dan si bunggu Ana bekerja sebagai guru bahasa Inggris). Hanya saya saja yang memutuskan berhenti bekerja setelah menikah. Semua itu sudah sangat membahagiakan hati orang tua saya.

bapak-ibu saya, dan Mas Dalijo (seorang MC yang cukup dikenal di Yogyakarta)


Dan sekarang di saat kami empat bersaudara ini sudah mandiri semua, ibu bapak saya tetap saja masih menekuni usahanya. Meskipun sudah kami larang untuk bekerja, tapi mereka ternyata bukanlah tipe orang yang maunya hanya "duduk-duduk" manis di usia senjanya. Padahal sebenarnya bapak sudah mulai sering mengeluh akan ginjalnya. Tapi karena bapak saya ini juga tipikal keras kepala (seperti saya juga), maka agak susah pula menasehatinya. Maklum kami punya weton lahir sama, bulan lahir juga sama, apa hubungannya ya? Kalo orang Jawa sih bilangnya ada hubungannya, walaupun saya sendiri kurang paham. Penyakit itu sepertinya tidak terlalu dihiraukannya. Dan di ulang tahunnya yang ke 61 kali ini saya hanya bisa berdoa, semoga bapak panjang umur, tetap sehat, dan tetaplah menjadi pemimpin walaupun tanpa ijasah. Begitu pula dengan ibu saya tetap sehat dan sabar mendampingi bapak.





Rabu, 07 September 2011

Belajar Membuang Sampah!!

13007837192055964190

Beberapa hari yang lalu saya pergi ke sekolahan anak saya dengan maksud untuk membayar uang SPP. Setelah sampai di sekolah, saya langsung menuju suatu ruangan yang biasa disebut dengan "bank sekolah". Setelah mengisi slip pembayaran, teller kemudian memprosesnya dan selesailah urusan saya hari itu. Tidak terlalu lama hanya sekitar 10 menit. Kebetulan hari itu antrian memang tidak terlalu banyak, hanya ada sekitar 5 orang yang dilayani oleh mbak teller yang menurut saya lumayan ramah itu.

Setelah beres, saya keluar dari ruangan itu dan menuju tempat sampah. Saya bermaksud membuang blangko slip SPP yang tidak terpakai karena tadi saya sempat melakukan kesalahan dalam pengisian. O...lala...ternyata ada tempat sampah "baru" yang saya lihat hari itu. Tempat sampah yang menurut saya lain dari biasanya. Maksud saya baru kali ini saya melihat tempat sampah model begini di lingkungan sekolah anak saya, kalau di tempat lain sih saya pernah melihatnya. Biasanya di sekolah anak saya ini hanya ada satu tempat sampah di setiap ruangan, baik itu ruang kelas ataupun ruangan lainnya. Tapi kali ini lain, ada tiga tempat sampah sekaligus di depan ruang pembayaran SPP tadi.

Penasaran sekaligus iseng, saya akhirnya mencoba sedikit "masuk" (sedikit saja sih karena sekolah anak saya ini kebetulan sekolah terpadu, dari TK sampai perguruan tinggi ada disana, bahkan rumah sakit dan apotik juga ada lho!) ke areal sekolah sembari mengedarkan pandangan mata. Siapa tahu saya menjumpai tempat sampah yang sama seperti di ruang pembayaran SPP tadi. Dan ternyata benar, di depan ruang kelas masing-masing terdapat tempat sampah yang sama. Ketiga tempat sampah itu dikaitkan satu sama lain dengan penyangga besi. Masing-masing tempat sampah diberi label yang berbeda, tergantung dari jenis sampahnya. Ada yang khusus untuk sampah berupa daun dan kertas. Ada yang untuk sampah plastik, logam, kaca dan kaleng. Dan yang terakhir khusus sampah yang berupa sisa makanan. Good job!!

1300256035128286796tempat sampah dengan label berbeda disesuaikan dengan jenis sampahnya

Sembari melihat murid-murid yang sedang asyik bermain (kebetulan saat itu jam istirahat pertama), pandangan saya tertuju pada salah satu spanduk yang tergantung di depan salah satu ruang kelas. Bukan spanduknya yang menarik perhatian saya, melainkan apa yang tertulis di spanduk itu. Spanduk itu berbunyi begini : "KEBERSIHAN MILIK KITA!!!!! Konsekwensi Membuang Sampah Sembarangan Memungut Sampah Sepuluh Kali Tingkat Kelasnya".

1300259314185634461spanduk yang berisi "sanksi" itu

Terus terang saya kurang paham dengan maksud tulisan itu. Begitu sampai rumah saya langsung bertanya pada anak saya apa maksud tulisan itu. Dengan gamblang dia menjelaskan bahwa di sekolahnya jika ketahuan membuang sampah sembarangan akan di hukum untuk memungut sampah sebanyak 10 kali tingkat kelasnya. Maksudnya jika murid tersebut adalah kelas 4, maka dia harus memungut sampah 40 kali. Bisa sampah daun, sampah plastik ataupun sampah kertas.

Wah, ini baru kemajuan! Kenapa saya katakan demikian? Saya  masih ingat dulu waktu anak saya kelas 1 (sekarang sudah kelas 5), di tempat tergantungnya spanduk itu juga ada spanduk lain yang "nada"-nya hampir sama. Spanduk itu juga berisi peringatan jika ada yang ketahuan membuang sampah sembarangan akan kena "hukuman". Hanya saja spanduk yang dulu "hukumannya" berupa denda uang sebesar Rp 1.000,00. Selanjutnya uang hasil "denda" itu dipergunakan untuk infak masjid sekolah yang kebetulan saat itu masih dalam proses pembangunan. Mungkin saja cara denda uang dipandang  tidak efektif (buktinya anak saya dulu sering minta uang saku lebih hanya gara-gara kena denda) sehingga pihak sekolah perlu merubah menjadi hukuman memungut sampah. Dan kenyataannya sekarang halaman sekolah tampak jauh lebih bersih dibandingkan dulu. Murid-murid mungkin merasa enggan (bercampur malu, setidaknya itu yang dikatakan anak saya lho!) kalau harus memunguti sampah sembari dilihat oleh teman-teman yang lainnya. Apalagi kalau anak tersebut kelas 6, wah bisa pegel juga kalau harus memunguti sampah sebanyak 60 kali.

1300259632433570684halaman sekolah, tampak bersih

Kebijakan sekolah yang memberikan sanksi bagi murid yang membuang sampah sembarangan, patut saya acungi jempol. Apalagi dengan dibarengi oleh adanya penambahan fasilitas tempat sampah "baru", wah makin salutlah saya dengan sekolahan anak saya itu. Dengan adanya tempat sampah "baru" tersebut, secara tidak langsung murid-murid telah diajarkan tentang bagaimana cara "memperlakukan" sampah dengan benar. Sampah yang bisa didaur ulang dan yang tidak bisa telah dipisahkan. Begitu pula sampah yang bisa diurai oleh alam dan yang tidak juga telah dipisahkan.

Belajar membuang sampah rupanya memang harus dibudayakan semenjak dini. Seringkali kita yang mengaku sudah dewasa ini (termasuk saya tentunya!) masih saja salah "memperlakukan" sampah secara benar. Tentang hal ini, saya jadi teringat dengan kisah seorang teman yang waktu itu sedang tugas di luar negeri. Karena tugasnya tersebut, maka teman saya tadi menginap di salah satu hotel berbintang dalam waktu beberapa hari. Kebetulan di kamar hotel tempatnya menginap disediakan beberapa kantong sampah. Anehnya selama beberapa hari menginap, kantong sampah yang ada dikamar itu tidak pernah diambil oleh cleaning service hotel. Teman saya tadi tentu saja heran mengingat tarif hotel yang menurutnya lumayan mahal (ratusan dollar), tapi pelayanannya sangat jauh dari memuaskan. Usut punya usut ternyata teman saya tadi telah salah "memperlakukan" sampah. Seharusnya dia membuang kaleng bekas softdrink dan kertas coretan-coretan dari blocknote-nya sesuai dengan label yang ada di kantong sampah itu. Akhirnya dengan sedikit dongkol, teman saya tadi memilah-milah sampah di kamarnya itu dan menempatkannya sesuai jenisnya. Keesokan harinya ketika masuk kamarnya selepas meeting di luar, teman saya tadi menjumpai kantong sampah yang beberapa hari lalu tidak disentuh oleh pihak hotel telah diganti dengan kantong sampah yang baru.

Cinta Kasih dalam Sebungkus Nasi Padang

Senin pagi 14 Februari. Seperti biasanya setelah suami dan anak sulungku pergi ke tugasnya masing-masing, aku nyalakan komputerku. Pertama-tama kubuka facebook-ku. Beberapa hari ini aku memang agak menomorduakan “negara mayaku” yang satu itu, terutama setelah mengenal kompasiana ini.

Setelah membaca status beberapa teman di facebook, perhatianku lebih tertuju pada status teman SMA-ku. Heni namanya (jangan GR lho Hen, namamu kusebut disini hehehe). “Berkasih sayang tidaklah harus menunggu hari ini, 14 Februari, yang datangnya hanya setahun sekali. Demikian juga bermaaf-maafan tidaklah harus menunggu datangnya hari lebaran. Setiap waktu, setiap ingat, dan setiap ada kesempatan mari kita lakukan”, begitu kira-kira Heni menuliskan statusnya. Dalam sekali maknanya menurutku, dan tanpa pikir panjang aku langsung memberikan komen “like this” di statusnya itu. Tetapi diujung statusnya Heni memberi catatan “siap menerima kiriman coklat setiap saat”. Halaah…ujung-ujungnya koq ya coklat. Kenapa mesti coklat sih? Emang gak bisa diganti uang ya hehehe (mauku sih!).

Bu Menkes, Saya Gemes Deh Sama Ibu!

Saya adalah ibu dari dua orang anak yang salah satunya masih berusia batita (1 tahun 8 bulan). Sampai saat ini anak saya yang berusia batita itu masih sangat tergantung dengan susu formula. Bukan karena saya malas memberi ASI, tetapi memang stok ASI saya sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan susu anak saya itu. Apalagi anak saya ini termasuk kuat dalam mengkonsumsi susu formula. Kalau dirata-rata bisa sekitar 8 botol ukuran 120ml/harinya. Akhirnya mau tidak mau susu formula adalah pilihan terakhir bagi saya agar anak saya tetap dapat mengkonsumsi susu.

Dan beberapa hari ini saya dibuat kesal, dongkol, jengkel, gemes, deg-degan dan juga was-was. Pokoknya kalau digambarkan lengkap sekali perasaan saya beberapa hari ini. Dan saya yakin perasaan yang sama juga dirasakan oleh beribu atau bahkan berjuta ibu yang mempunyai anak batita/balita seperti saya. Bagaimana tidak kesal, dongkol, jengkel, etc kalau hanya sekedar pengin tahu merek susu formula yang katanya terjangkit bakteri sakazakii saja, saya atau mungkin juga ibu-ibu yang mempunyai anak batita/balita se-Indonesia ini harus menunggu cukup lama. Saya yang orang awam dalam bidang kesehatan saja merasa bahwa ini bukan masalah yang sepele. Terutama kalau mengingat efek yang ditimbulkan dari bakteri berbahaya ini, yang katanya bisa menimbulkan sakit radang selaput otak atau meningitis, radang usus halus dan usus besar (enterokolitis), dan juga kematian sel (necrosis). Ibu mana coba yang bisa tenang-tenang saja kalau anaknya ternyata mengidap berbagai penyakit itu hanya karena mengkonsumsi susu formula merek tertentu. Apalagi konon ada sekitar 13,5% dari 74 sempel susu formula yang telah diteliti ternyata terkontaminasi bakteri sakazakii itu. Wah saya pikir ini bukan hal yang main-main lagi. Menurut saya itu adalah jumlah yang cukup banyak. Dan kenyataannya sampai sekarang belum juga diumumkan merek susu formula apa saja yang telah tercemar bakteri itu.

Kemarin Cabe, Sekarang Kedelai, Besok Apalagi Nih Pak Beye?

Kemarin sore saya dibuat terkejut oleh berita di salah satu televisi swasta. Bukan tentang crop circle atau tentang Gayus Tambunan. Bukan pula tentang kerusuhan berbau SARA yang akhir-akhir ini merebak kembali di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, tetapi ini masalah perut. “Harga kedelai meroket”, begitu kira-kira inti sari dari berita sore itu. Lantas apa hubungannya kedelai sama perut? Ya jelas ada dong! Kedelai kan bahan bakunya tempe, sementara saya sekeluarga termasuk penikmat utama tempe. Rasanya hampir setiap hari ada menu tempe dalam olahan hidangan keluarga saya. Entah itu berupa tempe goreng tepung, sambel goreng tempe, ataupun berbagai macam tumisan berbahan dasar tempe. Maklumlah saya bukan keluarga berada yang setiap harinya bisa makan dengan menu daging, telor, ayam ataupun ikan. Lagian kata ibu saya, selain murah meriah dan menyehatkan, tempe itu bikin awet muda. Saya sendiri juga tidak tahu, ibu saya dapat info itu dari mana. Yang jelas saya sih percaya saja sama omongan ibu saya itu. Buktinya saya sekeluarga tetap sehat-sehat saja meskipun hanya mengkonsumsi lauk tempe. Selain itu saya juga merasa tetap masih kelihatan muda, meskipun umur saya sudah hampir menginjak kepala empat (yang ini mungkin sugesti atau terlalu pede kali ya hehehe). Selain itu saya juga pernah melihat di buku KMS (Kartu Menuju Sehat) anak saya, bahwa tempe termasuk makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi selain nasi, sayur-sayuran, buah-buahan, daging, telor, ikan, dan susu. Nah klop bukan, kalau ibu saya suka menyuruh mengkonsumsi tempe dari dulu? Memang kenyataannya tempe itu murah meriah koq!

Anakku keturunan Cina (juga)

Keluarga besar mama sesaat sebelum upacara kremasi Mak Co sekitar 1 tahun lalu. Ada yang beragama Islam, Kristen, dan ada juga yang Katolik. (ini belum semua anak dan cucu mama hadir disini lho!)
Didalam darah anakku mengalir darah Cina. Mengapa bisa demikian? Ya, ibu mertuaku ternyata keturunan Cina. Ibu mertuaku ini adalah anak tertua dari 7 bersaudara. Meskipun keturunan Cina, tetapi ibu mertuaku adalah seorang muslim. Bahkan dari 7 bersaudara, ibu mertuaku itu satu-satunya yang menganut agama Islam. Sedangkan yang lainnya berkeyakinan berbeda. Ada yang beragama Kristen dan ada pula yang Katolik. Sementara orang tua dari ibu mertuaku (aku biasa menyebutnya Mak Co) sendiri beragama Kong Hu Cu, agama dari leluhurnya. Demokratis, begitu kata mama waktu itu. Mama, ya begitu aku biasa memanggil ibu mertuaku itu.
Entah mulai kapan mama menganut Islam. Waktu kecil rumah mama kebetulan dekat mesjid, begitu mula-mula mamaku bercerita. Mamaku sendiri lahir di Banyuwangi pada tanggal 24 April 1944, dan menghabiskan sebagian masa kecilnya di kota kelahirannya itu. Sebagai orang minoritas, mama justru tidak pernah menutup diri. Mama biasa bergaul dengan anak-anak di sekitar rumahnya. Hampir semua penduduk di sekitar mamaku tinggal beragama Islam. Karena pergaulannya itu pula, lama-lama mamaku pun memeluk Islam. Oleh karena itu sejak kapan tepatnya mamaku beragama Islam, tidak tahu pasti. Yang pasti sejak kecil, begitu mamaku selalu mengatakannya.