Rabu, 07 September 2011

Kemarin Cabe, Sekarang Kedelai, Besok Apalagi Nih Pak Beye?

Kemarin sore saya dibuat terkejut oleh berita di salah satu televisi swasta. Bukan tentang crop circle atau tentang Gayus Tambunan. Bukan pula tentang kerusuhan berbau SARA yang akhir-akhir ini merebak kembali di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, tetapi ini masalah perut. “Harga kedelai meroket”, begitu kira-kira inti sari dari berita sore itu. Lantas apa hubungannya kedelai sama perut? Ya jelas ada dong! Kedelai kan bahan bakunya tempe, sementara saya sekeluarga termasuk penikmat utama tempe. Rasanya hampir setiap hari ada menu tempe dalam olahan hidangan keluarga saya. Entah itu berupa tempe goreng tepung, sambel goreng tempe, ataupun berbagai macam tumisan berbahan dasar tempe. Maklumlah saya bukan keluarga berada yang setiap harinya bisa makan dengan menu daging, telor, ayam ataupun ikan. Lagian kata ibu saya, selain murah meriah dan menyehatkan, tempe itu bikin awet muda. Saya sendiri juga tidak tahu, ibu saya dapat info itu dari mana. Yang jelas saya sih percaya saja sama omongan ibu saya itu. Buktinya saya sekeluarga tetap sehat-sehat saja meskipun hanya mengkonsumsi lauk tempe. Selain itu saya juga merasa tetap masih kelihatan muda, meskipun umur saya sudah hampir menginjak kepala empat (yang ini mungkin sugesti atau terlalu pede kali ya hehehe). Selain itu saya juga pernah melihat di buku KMS (Kartu Menuju Sehat) anak saya, bahwa tempe termasuk makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi selain nasi, sayur-sayuran, buah-buahan, daging, telor, ikan, dan susu. Nah klop bukan, kalau ibu saya suka menyuruh mengkonsumsi tempe dari dulu? Memang kenyataannya tempe itu murah meriah koq!


Terus apa hubungannya dengan harga kedelai yang meroket? Ya jelas ada dong! Walaupun saya bukan produsen tempe, tapi pasti nanti imbasnya akan ke konsumen seperti saya ini. Seperti yang saya bilang tadi, kedelai kan bahan baku untuk tempe? Nah kalau kedelainya saja sudah naik, pastilah nanti harga tempe juga akan naik. Pasti itu! Itu kan sudah jadi hukum ekonomi. Padahal sumpah, saya bukan ahli ekonomi lho! Saya cuma ingat dengan pelajaran ekonomi waktu SMA dulu, kalau permintaan banyak sementara penawaran sedikit pasti harga akan naik. Nah berhubung harga kedelai naik, kalau tidak salah dari berita yang saya lihat tadi, semula harga kedelai Rp 5.000,oo/kg sekarang menjadi Rp 6.500,00/kg. Akibatnya mau tidak mau banyak produsen tempe yang menaikkan harga jual dan juga mengurangi ukuran tempe lebih kecil dari biasanya agar bisa tetap berproduksi. Nah kalau sudah begini, tempe bisa jadi makanan mahal tak ubahnya daging atau ikan di keluarga saya dong! Ya iya kan, suami saya toh hanya pegawai rendahan yang penghasilannya segitu-gitu aja. Supaya dapur tetap ngebul, sebagai istri saya harus pinter-pinter mengelola keuangan dari suami saya agar bisa cukup untuk sebulan. Lha kalau apa-apa, termasuk tempe harganya naik begini, saya harus putar otak yang bagaimana lagi? Kepada siapa lagi saya akan mengadu?

Bagaimana ini Pak Beye? Lho koq Pak Beye? Atas nama rakyat, harusnya kan saya mengadu ke wakil rakyat ya? Terus terang saya sendiri juga bingung mau mengadu kemana. Ke wakil rakyat, wah saya koq jadi pesimis! Bagaimana tidak pesimis, wong saya sering lihat di televisi wakil-wakil rakyat kita banyak yang absen koq kalau lagi sidang. Belum lagi yang datang juga sering saya lihat malah pada tidur pas sidang. Padahal jelas mereka itu sedang sidang membahas soal rakyat. Ya sudah saya mengadunya ke Pak Beye aja, kali-kali aja Pak Beye mau dengar!

Bagaimana ini Pak Beye? Mosok saya harus “memangkas” anggota keluarga saya agar bisa terus mencukupi kebutuhan hidup keluarga dengan penghasilan suami yang segitu-gitu aja. Saya toh sudah mengikuti anjuran pemerintah untuk ikut program KB. Makanya anak saya cuma dua, laki-laki semua gak apa-apa yang penting bahagia. Nah kalau keluarga saya yang menurut saya “keluarga kecil” aja sudah susah, bagaimana dengan “keluarga-keluarga besar” yang berpenghasilan pas-pasan seperti saya? Apa tidak morat-marit perekonomian keluarganya?

Bagaimana ini Pak Beye, kalau harga tempe aja ikut naik mengikuti harga cabe? Oya tentang cabe ini saya juga sempat jengkel. Lha bagaimana tidak, cabe juga termasuk “daftar belanjaan” yang harus saya beli setiap kali ke pasar. Rasanya tidak afdol kalau makan gorengan tempe tanpa “nyeplus” lombok atau cabe, itu kata suami saya lho! Belum lagi kalau saya masak sayur sop terus lauknya tempe, pasti suami saya juga minta dibuatkan sambal. Kalau tidak pakai sambal rasanya jadi “cemplang” alias hambar katanya. Lagi-lagi harus pakai cabe tho untuk buat sambal. Maklumlah suami saya ini termasuk orang yang doyan pedas-pedas. Nah bagaimana saya bisa menyenangkan suami kalau harga cabe saja mahalnya minta ampun? Di Jawa saja waktu itu ketika harga cabe sempat menembus Rp 100.000,00/kg, di tempat saya yang kebetulan tinggal di Kalimantan ini sudah mencapai Rp 120.000,00/kg. Sementara harga daging sapi saja “hanya” sekitar Rp 80.000,oo/kg, jauh kan kalau dibanding harga cabe. Ya sudah anggaran yang seharusnya buat beli cabe saya alihkan buat beli daging. Ya anggap saja variasi makanan selain tempe. Tapi ya itu tadi, lagi-lagi saya dibuat bingung untuk mengolahnya. Selama ini kalau masak daging biasanya ya cuma saya bikin rendang, sesuai keinginan suami. Pokoknya yang pedas-pedas deh! Terus untuk bikin rendang yang merah itu kan butuh cabe juga? Enggak lucu dong kalau demi menghasilkan warna merah rendang saya harus mengganti cabe dengan tomat? Nah lo, bagaimana coba, pusing kan?

Bagaimana ini Pak Beye? Memangnya kalau salah satu bahan makanan naik, yang lain juga ngiri ikut-ikutan naik ya? Nggak bisa apa ya dicegah? Soalnya setahu saya, para petani cabe atau kedelai itu hidupnya ya gitu-gitu aja, nggak banyak berubah meskipun hasil kebunnya harganya melambung tinggi. Terus terang kalau harga bahan makanan pada naik begini saya sering pusing. Dan kalau sudah pusing bawaannya pengin marah terus. Persis seperti yang anak saya bilang. “Mama itu kalau lagi nggak punya uang koq jadi gampang marah ya, suka emosi!”, begitu anak saya suka bilang. Kalau saya pikir-pikir ada benarnya juga omongan anak saya itu. Bukan saya saja sih, tapi sering saya lihat orang suka marah, gampang tersulut emosinya ketika sedang tidak punya uang alias perut lapar. Nah ujung-ujungnya kembali ke urusan perut lagi deh! Saya jadi berpikir juga, jangan-jangan kemarin orang pada gampang emosi, bakar sana bakar sini, sampai membunuh segala itu disebabkan faktor lapar perut kali ya? Atau malahan lapar iman ya? Entahlah saya juga tidak tahu pasti. Lagipula itu kan urusan negara (kalau negaranya masih ada lho!). Saya kan cuma rakyat, ibu rumah tangga pula. Urusan saya ya seputar dapur saja deh! Kalau ngomongin urusan negara dikiranya saya sok tahu nanti.

Ya sudah saya tak mikir dulu ya bagaimana caranya agar kebutuhan hidup saya sekeluarga tetap terpenuhi meskipun harga cabe dan kedelaiatau tempe naik!

“Tolong dibantu ya : sim salabim jadi apa, prok prok prok!”, wah saya koq malah ikut-ikutan Pak Tarno di kuis Rangking 1 sih? (maklumlah saya nulis unek-unek saya ini kan sambil nonton kuis itu).

“R 1, pinter nggak tuh?.” Maaf pak bukan saya lho yang ngomong, itu tuh Si Sarah sama Ruben yang bawain kuis. Bener pak bukan saya lho……halaaaah……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar