Minggu, 24 Mei 2015

Dua Kali Hamil dan Melahirkan, Dua-Duanya Amazing!

Tentang Kehamilan Danny

Bulan Oktober sudah pasti menempati relung khusus dalam hati saya. Karena di bulan ini ada tiga generasi sekaligus di keluarga saya yang dilahirkan di bulan yang sama. Pertama adalah bapak saya, kedua adalah saya dan yang ketiga adalah anak sulung saya. 

Terus bagaimana rasanya mempunyai anak? Sudah pasti bahagia tentunya. Apalagi ada anggapan bahwa kesempurnaan seorang perempuan terjadi ketika ia berhasil melahirkan seorang anak. Dan anggapan itu bagi saya ada benarnya. Saya merasakan benar-benar menjadi seorang perempuan “sempurna” ketika saya melahirkan anak sulung saya. Tidak bisa saya pungkiri, saya benar-benar dapat merasakan panggilan sayang “mama” ketika saya sudah punya anak. Dan itu sungguh luar biasa. Saya yang dulunya (kata orang sih) tomboy itu bisa juga punya anak, sungguh menakjubkan. 

Bersyukur dan berbahagia atas nikmat yang luar biasa sudah pasti saya rasakan. Hanya orang-orang yang “buta hati”-lah yang tidak bisa merasakan kebahagiaan dan tidak bersyukur akan lahirnya seorang “manusia baru” di dunia ini. Karena sudah “buta hati” itulah, maka ada saja orang yang tega membuang atau bahkan membunuh buah hati yang baru dilahirkannya hanya karena sang jabang bayi lahir tidak diharapkan. Akan tetapi apakah pernah ditanyakan pada sang jabang bayi, apakah mereka semua minta dilahirkan? Tidak bukan, karena kitalah yang sebenarnya telah merancangnya sendiri hingga akhirnya bayi itu lahir ke muka bumi. Jadi karena sudah saya rancang akan kelahirannya, maka saya sangat bersuka-cita akan hadirnya bayi dalam kehidupan rumah tangga saya.

Bagaimana suka-citanya mendapatkan momongan baru sudah tidak bisa saya lukiskan lagi. Hilang sudah rasa pegal-pegal yang selama 9 bulanan saya alami karena menggendongnya kesana-kemari di perut saya ketika saya mengandungnya. Tak terasakan lagi betapa susahnya masa-masa kehamilan pertama saya. Betapa setiap hari saya selalu muntah-muntah hingga hampir 8 bulan lamanya. Betapa susahnya saya melawan rasa ngidam saya itu dan semua seperti terbayar lunas ketika bayi itu lahir ke muka bumi. Lahir dengan keluhan yang menurut saya tidak terlalu berarti, walaupun bagi dunia medis kelahirannya harus menjadi catatan sendiri mengingat proses persalinannya yang tidak bisa dibilang gampang juga. 

Anak sulung saya memang bisa dibilang lahir normal, tapi tidak normal dalam prosesnya. Kenapa bisa demikian? Baiklah saya akan coba membuka kembali memori saya untuk mengingat-ingat proses kelahirannya. Bagi saya mudah saja “memanggil” kembali ingatan itu karena memang itu pengalaman pertama dan tentunya akan terus membekas diingatan saya.

Saya menikah tanggal 7 Agustus 1999 di Yogyakarta, kota kelahiran saya. Kira-kira seminggu setelah menikah, saya langsung diboyong suami ke Bontang, Kalimantan Timur. Berat rasanya berpisah dengan orang tua, tapi apa boleh buat setelah menikah tanggung jawab sepenuhnya atas diri saya beralih ke tangan suami yang kebetulan bekerja di Kalimantan Timur. Sejak menikah saya sama sekali tak memakai alat kontrasepsi, meskipun demikian kehamilan tak kunjung menghampiri saya. Baru pada bulan kelima, saya mengalami keterlambatan menstruasi. Untuk memastikan saya hamil atau tidak, bersama suami saya beli alat tes kehamilan di apotik dan pagi harinya saya tes sendiri urine saya. Alhamdulillah, ada dua garis strip berwarna merah di alat tersebut. Namun untuk lebih meyakinkan, bersama suami pula saya pergi ke bidan sore harinya. Dan ternyata benar, hasilnya tetap sama. Saya dinyatakan positif hamil. Bahagia tak terkira sudahlah pasti, mengingat saya sangat mengharap kehadiran janin di rahim saya. 

Kalau dihitung dari mulai saya menikah hingga hamil sebenarnya tak terlalu lama, hanya lima bulan saja. Namun sejak kepindahan ke Kalimantan Timur saya memutuskan berhenti kerja, maka hari-hari saya di rumah terasa sepi ketika ditinggal suami bekerja. Karena itulah saya pengin cepat-cepat hamil agar ada "teman" bermain selama ditinggal suami bekerja. Jadi lima bulan merupakan waktu yang lumayan lama bagi saya untuk menunggu kehamilan saya itu.

Sejak dinyatakan positif hamil oleh bidan, maka sejak saat itu saya rutin kontrol sebulan sekali. Setiap kali kontrol bidan juga memberi saya vitamin yang harus rutin saya minum setiap harinya. Karena ini kehamilan anak pertama dan suami juga begitu excited akan segera punya anak, maka segala sesuatu yang saya minta selalu diturutinya. Mau minta makanan apa saja sepanjang itu tak membahayakan kehamilan saya, pasti dituruti. Terkadang keinginan itu datangnya tiba-tiba dan malam hari pula. Orang bilang hal semacam itu namanya ngidam. Hanya satu hal yang sulit dipenuhi oleh suami yaitu ketika suatu malam tiba-tiba saya ngidam kepingin makan sayur tumis kangkung dan itu harus buatan ibu saya. Tengah malam minta tumis kangkung buatan ibu saya yang tinggal di Yogyakarta sana, jelaslah sulit untuk dipenuhi. Saya sampai telpon ibu saya, nangis-nangis tetap tak bisa berbuat apa-apa. Itu terjadi di awal-awal kehamilan saya. Setelah kehamilan menginjak bulan keempat, saya mulai tak pernah ngidam yang "aneh-aneh" lagi. Hanya saja mual-mual dan muntah-muntah saya tak kunjung berhenti dari bulan pertama kehamilan sampai menginjak bulan ke delapan. Semula saya berpikir, mual-mual dan muntah-muntah saya itu lantaran susu hamil yang saya konsumsi. Tapi ternyata tidak, meskipun saya ganti dengan susu merek lain dan juga cita rasa yang lain, tetap saja tak berpengaruh. Saya terus saja muntah-muntah setiap hari, bahkan tengah malam pun saat sudah terlelap tidur dan terbangun lantaran ingin buang air kecil, muntah-muntah itu sering kali terjadi. Bukan hanya muntah sedikit, sering kali saya muntah sangat banyak hingga saya lemas. Untungnya suami saya selalu menguatkan, meskipun muntah-muntah terus saya tetap diharuskan minum susu hamil dan makan-makanan yang bergizi.

Karena keseringan muntah-muntah, praktis berat badan saya tak terlalu mengalami kenaikan yang berarti. Kalau ibu-ibu hamil pada umumnya bisa naik sekilo atau bahkan dua kilo. Bulan ketiga dan keempat justru berat badan saya turun dari sebelumnya. Segala nasihat bidan dan orang-orang yang telah berpengalaman hamil sudah saya ikuti, tapi tetap tak berpengaruh. Kenaikan berat badan saya tidak terlalu signifikan.  Di umur kehamilan yang kelima bulan saja saya masih bisa mengenakan celana jeans yang biasa saya pakai sebelum hamil. Beberapa tetangga bahkan mengira saya tidak hamil saking "tipis"-nya perut saya. Meskipun sering muntah-muntah, tapi ternyata bayi di perut saya cukup kuat. Pernah ada pengalaman menyedihkan sekaligus membuat saya was-was dengan kondisi janin saya. Suatu ketika di bulan kelima kehamilan, saya jalan-jalan bersama suami di pusat perbelanjaan. Kebetulan ada beberapa tangga yang harus saya lalui di pusat perbelanjaan itu. Mungkin karena kurang hati-hati, saya pernah terjatuh di tangga, kurang lebih sekitar 3 atau 4 undakan. Suami saya yang saat itu sedang membawa barang belanjaan, tak sempat menggapai saya.  Saya terjerembab ke lantai dasar.  Untunglah begitu diperiksa ke bidan, kondisi janin saya baik-baik saja. Begitupun dengan saya, hanya luka-luka lecet di tangan. Kejadian itu menjadi pengalaman yang berarti bagi saya untuk lebih berhati-hati.

Begitulah, bulan demi bulan kehamilan saya lalui dengan mual dan muntah-muntah. Karena kondisi yang tak kunjung membaik, menginjak bulan ke delapan saya memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta sekaligus untuk melahirkan disana. Keputusan itu saya ambil karena saya merasa akan lebih nyaman berada di samping ibu saya di saat melahirkan nanti. Suami pun juga tak keberatan dengan keputusan saya itu. Akhirnya dengan diantar kakak ipar yang kebetulan sedang ada perjalanan ke Cepu, saya terbang dari Bontang ke Balikpapan, kemudian dilanjutkan ke Surabaya. Waktu itu tidak ada route yang langsung ke Yogyakarta. Di Surabaya, bapak saya sudah menunggu di bandara baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Sementara kakak ipar saya melanjutkan perjalanan ke Cepu.

Sebenarnya ini adalah perjalanan yang beresiko mengingat usia kandungan saya yang sudah menginjak delapan bulan. Salah-salah kontraksi dan bisa melahirkan di pesawat. Tapi karena waktu itu saya sama sekali tak mempersiapkan surat keterangan dokter yang mengijinkan saya terbang dalam kondisi seperti itu, maka petugas di bandara pun percaya saja ketika saya bilang usia kehamilan saya masih lima bulan. Hal itu karena perut saya memang tak seperti orang hamil delapan bulan. Begitulah, akhirnya saya tiba di Yogyakarta dengan selamat.

Aneh tapi nyata, justru di Yogyakarta saya sama sekali tak mengalami muntah-muntah. Segala makanan saya santap, tanpa peduli sudah berapa kali saya makan dalam sehari. Orang bilang saya "ngebo" (seperti kerbau yang melahap apa saja). Saya juga sering minum air es jeruk setiap kali kehausan, meski ibu saya melarang. Takutnya saya nanti mengalami "kembar banyu" (hamil penuh air) saking seringnya minum es. Satu bulan di Yogyakarta, kenaikan badan saya lumayan drastis, kira-kira hampir sama dengan kenaikan badan selama delapan bulan kehamilan di Bontang. Sebelum hamil, berat badan saya hanya 40kg, kemudian saat hamil delapan bulan naik menjadi sekitar 46kg. Di usia kehamilan sembilan bulan, berat badan saya sudah mencapai 51kg dan masih bertambah hingga mendekati hari H kelahiran. Saya pun mulai rutin periksa ke dokter kandungan di salah satu rumah sakit swasta, seminggu sekali.

Tanggal 19 Oktober 2000 tepatnya (bersamaan dengan hari ulang tahun saya), sekitar pukul 10 pagi selepas saya mandi. Tiba-tiba saya seperti "mengompol” tanpa saya sadari. Tiba-tiba saja ada semacam cairan yang tanpa saya bisa kendalikan keluar dengan sendirinya. Karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, saya coba menelpon ibu saya yang kebetulan lagi keluar rumah. “Ah paling-paling kamu masuk angin, khan kamu suka minum es jeruk setiap hari”, dan jawaban ibu saya itupun cukup melegakan hati saya. Saya coba tanya lagi, apakah itu bukan tanda-tanda orang akan melahirkan, begitulah pertanyaan saya selanjutnya. “Memang sudah ada flek-flek belum? Kalau sudah ada berarti memang sudah mau melahirkan, tapi kalau belum ya itu cuma masuk angin tadi.” Begitulah penjelasan ibu saya waktu itu. Mungkin karena dari semua keempat anaknya, ibu saya selalu mengawalinya dengan tanda-tanda flek seperti orang yang mau menstruasi, makanya ibu saya bisa menyimpulkan begitu.

Akan tetapi ternyata kejadian saya “mengompol” dengan sendirinya itulah sebenarnya merupakan proses awal akan terjadinya kelahiran. Dokter bilang saya sudah mengalami pecah ketuban dan sayangnya itu baru saya ketahui sekitar 3 hari kemudian atau tepatnya tanggal 22 Oktober 2000 malam, ketika saya datang ke rumah sakit. Dokter kandungan saya bilang, bahwa tak semua orang menunjukkan tanda-tanda yang sama saat akan melahirkan. Ada memang yang ditandai dengan keluarnya flek-flek darah seperti halnya orang yang mau menstruasi dilanjutkan dengan kontraksi, ada yang tiba-tiba pecah ketuban seperti yang saya alami, tapi ada juga yang tetap bersih sampai masa persalinan tiba. Sebenarnya saya ke rumah sakit saat itu juga bukan karena sudah merasakan kontraksi yang begitu hebat seperti umumnya orang jika akan melahirkan, melainkan hanya karena saya berpegang pada perkataan dokter bahwa HPL (Hari Perkiraan Lahir) saya adalah 23 Oktober 2000. Daripada besoknya saya buru-buru ke rumah sakit, makanya saya malam itu memutuskan untuk “ngamar” dulu saja di rumah sakit. Dan ini sebenarnya mungkin “kebodohan” saya juga. Kurang pengalaman tepatnya. Maklumlah baru pertama kali mau punya anak. Lagipula waktu itu juga informasi tak semudah sekarang, yang tinggal klik semua informasi seputar kelahiran ada di internet. Waktu itu informasi mengenai kelahiran yang paling mudah ya dari orang yang pernah mengalaminya, dalam hal ini saya hanya mengandalkan pengalaman dari ibu saya. Seandainya saya tahu kalau tragedi saya “ngompol” itu adalah pecah ketuban, mungkin tidak akan seperti itu ceritanya. Tentu perawat juga tidak akan terheran-heran melihat saya datang ke UGD mengenakan pembalut sementara saya tidak sedang menstruasi. Perawat juga tidak akan terkaget-kaget ketika saya bilang sudah memakai pembalut seperti itu sejak tanggal 19 Oktober karena memang “ngompol” saya tidak pernah berhenti sejak itu. Dan mungkin saya juga tidak akan mengalami beberapa suntikan yang katanya adalah antibiotik dan juga suntikan induksi agar saya segera mengalami kontraksi. Karena kalau bayi saya tidak segera keluar, dikhawatirkan akan kehabisan cairan ketuban dan kata dokter ini sangat berbahaya. Sayangnya bayi saya pun masih belum mau keluar meskipun sudah diinduksi semalaman. Ia rupanya masih betah berlama-lama di dalam perut saya yang hangat meskipun cairan ketuban sudah hampir mengering. 

Semalaman saya diinduksi tetap tidak menunjukkan tanda-tanda kontraksi. Saya justru melihat beberapa orang yang masuk setelah saya ke rumah sakit itu, tapi sudah melahirkan duluan daripada saya. Proses kelahiran bayi-bayi mereka pun saya sempat melihat langsung, baik yang lahir tunggal ataupun lahir kembar. Dokter kandungan yang menangani saya memang tidak melarang saya melihat hal itu sepanjang saya tidak takut melihat darah, untuk melihat beberapa proses lahirnya seorang bayi di muka bumi ini. Mulai dari bukaan 10 hingga proses keluarnya bayi sampai menjahit kembali jalan keluar yang mungkin telah robek, saya sempat melihat semua hingga pagi menjelang. Dan selama itu pula saya tetap tidak merasakan kontraksi. Sementara saya sebenarnya sudah mulai lelah karena tidak tidur semalaman. Begitu pula tensi saya sudah mulai menurun menjadi 60/90. Karena itulah pihak rumah sakit telah menyiapkan segala kemungkinan jika sesuatu hal yang buruk terjadi. Pagi itu saya lihat perawat hilir mudik di ruang persalinan saya sambil menyiapkan segala peralatan. Menurut saya peralatan yang disiapkan jauh berbeda dengan yang dipakai oleh beberapa orang yang sempat saya lihat proses persalinannya. Ada beberapa tabung oksigen besar di sekitar tempat tidur saya di samping peralatan lain yang saya sama sekali tidak tahu kegunaannya.

Sementara disaat yang bersamaan saya belum juga mengalami kontraksi pagi itu. Terdorong rasa penasaran, saya pun bertanya ke beberapa perawat yang berada disitu. Dan jawaban salah satu perawat cukup membuat saya kaget. Katanya kalau saya bisa segera kontraksi, maka bisa dilakukan dengan proses normal. Tapi kalau tidak bisa keluar, maka bisa juga nanti dibantu dengan vacum. Dan bila tetap tidak berhasil, jalan terakhir satu-satunya adalah dengan proses ceasar. Wah, saya hanya bisa membatin sembari terus berdoa, agar semua proses apapun yang nanti bakal saya lakukan berjalan dengan lancar. Pasrah dan berserah diri, itulah yang saya bisa lakukan. Akhirnya sekitar pukul 09.30 pagi saya pun mengalami kontraksi yang hebat. Jalan lahirpun sudah terbuka semua, tapi sampai sekian menit tetap saja bayi saya tidak mau keluar. Setelah sekian lama dengan susah payah barulah pada pukul 09.50 pagi, tanggal 23 Oktober 2000 lahir bayi mungil saya. Itupun dengan melalui proses vacum sebelumnya. Semua saya lewati tanpa didampingi suami karena memang disaat bersamaan suami saya masih berada di perjalanan dari Balikpapan menuju Yogyakarta. Namun demikian, kedua orang tua senantiasa mendampingi saya selama proses persalinan berlangsung, meski dari luar ruangan.


Bayi laki-laki seberat 3.05kg dan panjang 49cm itu akhirnya saya beri nama Danny. Pada awalnya tubuhnya pucat membiru, karena itulah pasca kelahirannya ia harus tetap menjalani perawatan yang ekstra. Bahkan sampai 3 hari kemudian ketika saya sudah diperbolehkan pulang, Danny masih harus menjalani perawatan di rumah sakit. Ada beberapa suntikan yang harus ia terima selama beberapa hari di rumah sakit. Katanya itu antibiotik dan harus diberikan sampai habis dosisnya. Hanya karena saya merasa tidak bisa lepas dari bayi kecil saya itulah, maka di hari ke-4 ia di rumah sakit, saya dan suami nekad memaksa dokter untuk membawa pulang Danny dengan segala resiko yang seandainya terjadi sesuatu hal tidak akan menuntut rumah sakit. Apalagi saat saya berada di rumah, badan saya sempat demam lantaran proses keluarnya ASI dari payudara saya. Selama di rumah sakit, ASI saya memang belum keluar. Dan ternyata justru saat di rumah itulah ASI saya mulai keluar, meskipun masih sedikit. Berbekal tanda tangan suami saya, akhirnya Danny bisa saya bawa pulang dan pihak rumah sakit mengharuskan saya datang di jam-jam tertentu untuk menghabiskan sisa dosis antibiotik yang harus diberikan pada anak saya itu. Bagi saya itu bukan masalah, daripada saya harus berjauhan dengan bayi saya itu.

Danny yang tahun ini masuk SMA

Sekarang Danny sudah berumur 14 tahun lebih. Tahun ini ia sudah duduk di bangku SMA. Tak terasa bayi kecil saya sudah tumbuh besar, bahkan tinggi badannya sudah melampaui tinggi badan saya. Ia juga tumbuh sehat dan belum pernah mengalami sakit yang berat (semoga tidak pernah), kecuali batuk, pilek dan demam biasa.


Tentang Kehamilan Darryl

Anak adalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Seberapa nakalnya seorang anak, ia toh tetap anak kita. Jadi tidak sepantasnyalah kita menyia-nyiakan seorang anak, bagaimanapun kondisinya.

Lain Danny, lain pula kisah kehamilan Darryl, anak kedua saya. Jarak kehamilan antara anak pertama dengan anak kedua yang lumayan jauh yaitu 9 tahunan, membuat saya dan suami tak kalah excitednya dengan kehamilan Danny dulu. Kami sama-sama sukacita menyambut kehadiran calon jabang bayi di perut saya. Begitu pun dengan Danny, ia sangat ingin adiknya segera keluar dari dalam perut ibunya.

Berbeda dengan kehamilan pertama dulu, kehamilan kedua ini relatif lancar. Saya hanya mengalami mual dan muntah-muntah di bulan pertama kehamilan. Selebihnya saya justru terlihat "ngebo". Segala makanan saya santap hingga akhirnya berat badan saya naik dengan drastis. Kalau di kehamilan pertama, berat saya dari 40kg menjadi 52kg atau naik 12kg saja. Di kehamilan kedua berat saya dari 44kg menjadi 62kg saat melahirkan, yang artinya naik sekitar 18kg. Dokter bahkan sempat khawatir saya tak bisa mengontrol nafsu makan saya mengingat besarnya perut saya. Takutnya bayi saya terlalu besar sehingga menyulitkan proses persalinannya. Ternyata begitu di cek USG, berat janin saya masih kisaran 2kg. Jadi dapat disimpulkan bahwa makanan yang saya konsumsi selama hamil, larinya justru lebih banyak ke diri saya sendiri, bukan ke janin saya.

Selain faktor umur (saya umur 36 tahun saat hamil kedua) dan berat badan yang bertambah dengan cepat, di kehamilan kedua ini saya juga sering merasakan cepat lelah. Rasanya berat sekali membawa perut yang begitu besar untuk kesana kemari. Saya tak selincah kehamilan pertama dulu. Meski dibarengi muntah-muntah yang hebat, saya masih rajin mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara di kehamilan kedua ini, aktifitas rumah tangga agak terganggu. Jangankan untuk berjalan, duduk saja rasanya susah, termasuk dalam mengerjakan tugas-tugas ibu rumah tangga setiap harinya. Meskipun demikian saya tak berusaha mencari asisten rumah tangga. Selain mencari asisten rumah tangga tak semudah yang dibayangkan, saya merasa pekerjaan sehari-hari masih sanggup saya kerjakan sendiri semampu saya. Saya berusaha menikmati proses kehamilan saya dengan santai hingga waktu persalinan tiba.

Akhirnya hari yang dinanti-nanti pun tiba. Sesosok makhluk mungil telah lahir dari rahim saya. Lahir normal dalam artian tidak kurang suatu apapun, walaupun melalui proses yang tidak normal. Ya, dengan sangat terpaksa bayi kecil itu saya lahirkan secara ceasar. Bukan karena saya menghendaki begitu, tetapi memang usia kandungan saya sudah lewat bulan. Sudah 10 bulan bayi saya bersemayam di dalam rahim saya. Mungkin bayi saya betah berlama-lama  berada di dalam perut saya yang hangat.

Sesuai perkiraan dokter seharusnya bayi saya lahir pada tanggal 27 Mei 2009. Tetapi ditunggu sampai 2 minggu kemudian, bayi saya tetap tidak menampakkan tanda-tanda untuk keluar dari rahim saya. Ia tetap anteng tanpa adanya kontraksi hingga masuk bulan 10 kehamilan. Karena itulah begitu "ngamar" perawat langsung menginduksi agar saya segera kontraksi. Saya mulai "ngamar" sejak habis Dhuhur, tapi tak juga kontraksi. Hampir sama dengan kehamilan pertama, saya sempat "dibalap" beberapa ibu yang "ngamar" setelah saya, tapi melahirkan duluan. Rata-rata mereka memang datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi kontraksi atau sudah siap melahirkan. Sementara saya, jangankan bukaan dua, kontraksi pun tidak meski sudah "ngamar" hampir seharian. Semalaman kondisi saya dipantau karena detak jantung bayi di kandungan berubah-ubah. Kadang normal kadang cepat, bahkan sekitar pukul 2 dinihari alat pendeteksi detak jantung terpaksa ditempel permanen ditubuh saya sampai menjelang Subuh karena angka di alat tersebut mendekati 190, dari yang seharusnya 150. Itu kata perawat yang setiap saat mengontrol saya. Dan pada malam itu pula saya disarankan untuk berpuasa untuk kemungkinan yang terburuk, yaitu operasi.

Praktis semalaman saya tidak tidur karena alat yang menempel di perut saya. Selain karena lapar juga karena bunyi alat itu yang sengaja dikeraskan volumenya oleh perawat yang mengontrol saya. Empat botol infus induksi telah saya habiskan. Saya kurang tahu atas pertimbangan apa dokter memberi induksi dalam bentuk infus dan bukan injeksi langsung seperti pada kasus kelahiran anak saya yang pertama dulu. Kalau pada kehamilan pertama dulu, saya sempat kontraksi setelah diinduksi. Sedangkan pada kehamilan kedua ini, setelah ditunggu sehari semalam, tanda-tanda kontraksipun tidak muncul. Dalam istilah kedokteran, kata dokter saya mengalami gagal induksi atau gagal drip. Selain itu ternyata air ketuban saya juga sudah mulai keruh. Kalau tidak segera dikeluarkan bayi saya bisa keracunan. Atas dasar itulah keesokan harinya dokter memutuskan untuk segera mengoperasi saya.

Darryl, sesaat setelah kelahirannya, berat 3,2kg panjang 50cm


Sekitar pukul 10 pagi, tanggal 10 Juni 2009,  saya masuk ke ruang operasi. Campur-aduk perasaan saya saat itu. Maklum ini pengalaman pertama saya menjalani operasi ceasar. Untunglah dokter anastesi, yang kebetulan adalah tetangga depan rumah saya, selalu berusaha menenangkan saya dengan mengobrol biasa seperti layaknya bertetangga. Semua dilakukan sembari menyiapkan peralatan yang semestinya menempel ditubuh saya. Sampai pada akhirnya dokter anastesi tadi menyuruh saya untuk membungkuk sambil memeluk bantal dan beberapa detik kemudian saya merasakan seperti orang yang ditembak di bagian tulang punggung hingga menembus ke kaki. Dari dokter anastesi itu pula akhirnya saya tahu (dan tentunya setelah saya sadar) kalau saya baru saja disuntik bius lokal dari perut ke bawah. Beberapa detik kemudian dokter kandungan mulai bekerja, dibantu oleh beberapa asisten dan perawat tentunya. Pertama-tama dia (mungkin) menyayat perut saya. Saat itu dia masih sempat menanyakan "sakit nggak?", dan karena memang sakit saya jawab "sakit". Pertanyaan itu diulang sampai 2 kali dan untuk selanjutnya saya sudah tidak merasakan apa-apa. Rupanya saat itulah bius saya baru benar-benar bekerja. Lamat-lamat saya mendengar salah seorang diantara asisten dokter tadi mengatakan "aduh banyaknya darahnya". Terus terang walaupun dibius lokal saya merasa seperti dibius total. Entah berapa lama saya terpejam dalam ketidaksadaran (menurut suami saya proses operasinya sangat singkat, hanya sekitar 10 menit saja sejak saya masuk kamar operasi karena pada waktu itu bayi saya sudah dikeluarkan dari ruang operasi untuk diadzani oleh suami saya). Bayi saya lahir dengan berat 3,2kg dan panjang 50cm, hanya selisih sedikit dengan kakaknya waktu lahir dulu. Sama seperti kakaknya dulu, ia pun lahir dengan ditunggui kedua orang tua saya yang jauh-jauh terbang dari Yogyakarta ke Bontang untuk menunggui kelahiran cucunya.

Darryl, meski selang di hidung dan di mulut sudah dilepas, tapi selang infus masih menempel di tangannya 

Selama proses operasi berlangsung saya seperti mendapat pengalaman batin tersendiri. Saya seperti berada disuatu tempat yang lapang, hijau, terang benderang, sendirian pula. Mungkinkah ini yang disebut antara hidup dan mati, saya tidak tahu. Dan apakah orang lain juga mengalami hal seperti itu, entahlah! Saya baru benar-benar tersadar ketika dokter anastesi membangunkan saya : "Mbak... bangun, ini anaknya laki-laki lagi. Ini kalau mau nyium, nanti baru saya keluarkan biar diadzani bapaknya", begitu katanya seraya meletakkan bayi saya di samping saya. Saya cuma bisa bersyukur seraya mengucapkan terima kasih. Masih dalam pengaruh bius, saya mendengar suara berisik seperti mesin jahit disekitar saya. Rupanya saat itu dokter tengah melaser perut saya. Sekitar sejam proses ini berlangsung, selanjutnya saya dibawa ke ruang observasi dan baru setelah Dhuhur saya dipindah ke ruang perawatan.

Pada kesempatan lain saya baru tahu ternyata bayi kecil saya yang akhirnya kami beri nama Darryl  mengalami sedikit keracunan air ketuban. Dan selama dalam kandungan pula Darryl sempat buang air besar dan menelan beolnya. Itulah kenapa setelah kelahirannya, untuk sementara waktu Darryl harus menjalani observasi dan belum boleh dibawa ke ruang perawatan saya sampai kondisinya memungkinkan. Selama beberapa hari Darryl menjalani perawatan ekstra diruang khusus. Selain karena muntah terus setiap minum susu (pada waktu itu ASI saya memang belum keluar sehingga Darryl harus minum susu formula), Darryl masih perlu penanganan lebih lanjut dari dokter. Dan dari orang-orang yang menunggui dan membezuk saya, barulah saya tahu (karena sekitar 3 hari saya belum boleh beranjak dari tempat tidur), ditangan bayi kecil saya itu menancap jarum infus, dihidungnya juga dipasang selang (mungkin selang oksigen), sementara dimulutnya dimasukkan juga selang hingga ke lambung untuk memasukkan susu agar tidak muntah lagi. Sedih saya bila mengingat hal itu, Darryl harus sudah merasakan sakit ditusuk jarum infus diusianya yang baru beberapa jam kelahirannya.

Beberapa hari dirawat Darryl menunjukkan perkembangan yang baik. Pada akhirnya setelah berada di rumah sakit selama seminggu kami berdua diperbolehkan pulang. Sebulan pasca melahirkan, ternyata ada sedikit masalah dengan bekas operasi saya. Ada sedikit infeksi di bekas jahitannya hingga mengeluarkan darah dan nanah. Oleh karena itu saya harus rutin kontrol ke rumah sakit paling tidak 2 hari sekali selama kurang lebih 2 bulan lamanya. Dan selama proses perawatan luka saya itu, saya diharuskan minum antibiotik dengan dosis tinggi. Akibatnya setiap kali minum ASI, Darryl selalu muntah-muntah. Karena kondisi yang tidak memungkinkan itulah, maka Darryl kecil pun terpaksa saya beri susu formula. Selang beberapa waktu kemudian baru ketahuan pula kalau ternyata Darryl menderita alergi susu formula. Mukanya sempat merah-merah dan mungkin sangat gatal karena setiap saat sering saya lihat ia menggaruk-garuk pipinya. Atas saran dokter akhirnya saya ganti susu formulanya dengan susu soya. Alhamdulillah ternyata cocok. Berangsur-angsur wajahnya membaik seiring dengan baiknya juga kondisi perut saya yang infeksi.




Tanpa terasa hampir 6 tahun berlalu sudah. Darryl sekarang sudah besar dan tahun ini menginjak bangku SD. Darryl tumbuh sehat dan cerdas menurut saya. Mungkin karena sejak bayi sudah terbiasa dengan hal-hal yang menyakitkan (ditusuk jarum infus dan dimasukkan selang ditubuhnya plus menelan beolnya sendiri), maka Darryl terkesan "tahan banting". Tak pernah menangis setiap kali disuntik imunisasi semasa balita.

Danny dan Darryl, dua buah hati saya
Itulah sekelumit kisah saat saya hamil kedua buah hati saya. Dua-duanya sungguh menakjubkan. Setiap kali melihat kedua buah hati saya tumbuh dengan sehat, rasanya sungguh tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Semuanya ternyata amazing dan Allah itu Maha Baik karena telah menganugerahkan anak-anak yang seperti anak-anak saya. Pengalaman adalah guru yang baik. Semoga pengalaman saya ini bisa menjadi pembelajaran buat ibu-ibu yang saat ini tengah mengandung atau hendak melahirkan. Harapan saya semoga kehamilan dan persalinannya lancar. Peluk cium dan sayang dari saya untuk para ibu semua. Salam....

*) Postingan ini saya ikutkan dalam Pregnancy Story Writing Competition bersama NUK Baby Indonesia
8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar