Rabu, 07 September 2011

Belajar Membuang Sampah!!

13007837192055964190

Beberapa hari yang lalu saya pergi ke sekolahan anak saya dengan maksud untuk membayar uang SPP. Setelah sampai di sekolah, saya langsung menuju suatu ruangan yang biasa disebut dengan "bank sekolah". Setelah mengisi slip pembayaran, teller kemudian memprosesnya dan selesailah urusan saya hari itu. Tidak terlalu lama hanya sekitar 10 menit. Kebetulan hari itu antrian memang tidak terlalu banyak, hanya ada sekitar 5 orang yang dilayani oleh mbak teller yang menurut saya lumayan ramah itu.

Setelah beres, saya keluar dari ruangan itu dan menuju tempat sampah. Saya bermaksud membuang blangko slip SPP yang tidak terpakai karena tadi saya sempat melakukan kesalahan dalam pengisian. O...lala...ternyata ada tempat sampah "baru" yang saya lihat hari itu. Tempat sampah yang menurut saya lain dari biasanya. Maksud saya baru kali ini saya melihat tempat sampah model begini di lingkungan sekolah anak saya, kalau di tempat lain sih saya pernah melihatnya. Biasanya di sekolah anak saya ini hanya ada satu tempat sampah di setiap ruangan, baik itu ruang kelas ataupun ruangan lainnya. Tapi kali ini lain, ada tiga tempat sampah sekaligus di depan ruang pembayaran SPP tadi.

Penasaran sekaligus iseng, saya akhirnya mencoba sedikit "masuk" (sedikit saja sih karena sekolah anak saya ini kebetulan sekolah terpadu, dari TK sampai perguruan tinggi ada disana, bahkan rumah sakit dan apotik juga ada lho!) ke areal sekolah sembari mengedarkan pandangan mata. Siapa tahu saya menjumpai tempat sampah yang sama seperti di ruang pembayaran SPP tadi. Dan ternyata benar, di depan ruang kelas masing-masing terdapat tempat sampah yang sama. Ketiga tempat sampah itu dikaitkan satu sama lain dengan penyangga besi. Masing-masing tempat sampah diberi label yang berbeda, tergantung dari jenis sampahnya. Ada yang khusus untuk sampah berupa daun dan kertas. Ada yang untuk sampah plastik, logam, kaca dan kaleng. Dan yang terakhir khusus sampah yang berupa sisa makanan. Good job!!

1300256035128286796tempat sampah dengan label berbeda disesuaikan dengan jenis sampahnya

Sembari melihat murid-murid yang sedang asyik bermain (kebetulan saat itu jam istirahat pertama), pandangan saya tertuju pada salah satu spanduk yang tergantung di depan salah satu ruang kelas. Bukan spanduknya yang menarik perhatian saya, melainkan apa yang tertulis di spanduk itu. Spanduk itu berbunyi begini : "KEBERSIHAN MILIK KITA!!!!! Konsekwensi Membuang Sampah Sembarangan Memungut Sampah Sepuluh Kali Tingkat Kelasnya".

1300259314185634461spanduk yang berisi "sanksi" itu

Terus terang saya kurang paham dengan maksud tulisan itu. Begitu sampai rumah saya langsung bertanya pada anak saya apa maksud tulisan itu. Dengan gamblang dia menjelaskan bahwa di sekolahnya jika ketahuan membuang sampah sembarangan akan di hukum untuk memungut sampah sebanyak 10 kali tingkat kelasnya. Maksudnya jika murid tersebut adalah kelas 4, maka dia harus memungut sampah 40 kali. Bisa sampah daun, sampah plastik ataupun sampah kertas.

Wah, ini baru kemajuan! Kenapa saya katakan demikian? Saya  masih ingat dulu waktu anak saya kelas 1 (sekarang sudah kelas 5), di tempat tergantungnya spanduk itu juga ada spanduk lain yang "nada"-nya hampir sama. Spanduk itu juga berisi peringatan jika ada yang ketahuan membuang sampah sembarangan akan kena "hukuman". Hanya saja spanduk yang dulu "hukumannya" berupa denda uang sebesar Rp 1.000,00. Selanjutnya uang hasil "denda" itu dipergunakan untuk infak masjid sekolah yang kebetulan saat itu masih dalam proses pembangunan. Mungkin saja cara denda uang dipandang  tidak efektif (buktinya anak saya dulu sering minta uang saku lebih hanya gara-gara kena denda) sehingga pihak sekolah perlu merubah menjadi hukuman memungut sampah. Dan kenyataannya sekarang halaman sekolah tampak jauh lebih bersih dibandingkan dulu. Murid-murid mungkin merasa enggan (bercampur malu, setidaknya itu yang dikatakan anak saya lho!) kalau harus memunguti sampah sembari dilihat oleh teman-teman yang lainnya. Apalagi kalau anak tersebut kelas 6, wah bisa pegel juga kalau harus memunguti sampah sebanyak 60 kali.

1300259632433570684halaman sekolah, tampak bersih

Kebijakan sekolah yang memberikan sanksi bagi murid yang membuang sampah sembarangan, patut saya acungi jempol. Apalagi dengan dibarengi oleh adanya penambahan fasilitas tempat sampah "baru", wah makin salutlah saya dengan sekolahan anak saya itu. Dengan adanya tempat sampah "baru" tersebut, secara tidak langsung murid-murid telah diajarkan tentang bagaimana cara "memperlakukan" sampah dengan benar. Sampah yang bisa didaur ulang dan yang tidak bisa telah dipisahkan. Begitu pula sampah yang bisa diurai oleh alam dan yang tidak juga telah dipisahkan.

Belajar membuang sampah rupanya memang harus dibudayakan semenjak dini. Seringkali kita yang mengaku sudah dewasa ini (termasuk saya tentunya!) masih saja salah "memperlakukan" sampah secara benar. Tentang hal ini, saya jadi teringat dengan kisah seorang teman yang waktu itu sedang tugas di luar negeri. Karena tugasnya tersebut, maka teman saya tadi menginap di salah satu hotel berbintang dalam waktu beberapa hari. Kebetulan di kamar hotel tempatnya menginap disediakan beberapa kantong sampah. Anehnya selama beberapa hari menginap, kantong sampah yang ada dikamar itu tidak pernah diambil oleh cleaning service hotel. Teman saya tadi tentu saja heran mengingat tarif hotel yang menurutnya lumayan mahal (ratusan dollar), tapi pelayanannya sangat jauh dari memuaskan. Usut punya usut ternyata teman saya tadi telah salah "memperlakukan" sampah. Seharusnya dia membuang kaleng bekas softdrink dan kertas coretan-coretan dari blocknote-nya sesuai dengan label yang ada di kantong sampah itu. Akhirnya dengan sedikit dongkol, teman saya tadi memilah-milah sampah di kamarnya itu dan menempatkannya sesuai jenisnya. Keesokan harinya ketika masuk kamarnya selepas meeting di luar, teman saya tadi menjumpai kantong sampah yang beberapa hari lalu tidak disentuh oleh pihak hotel telah diganti dengan kantong sampah yang baru.

Cinta Kasih dalam Sebungkus Nasi Padang

Senin pagi 14 Februari. Seperti biasanya setelah suami dan anak sulungku pergi ke tugasnya masing-masing, aku nyalakan komputerku. Pertama-tama kubuka facebook-ku. Beberapa hari ini aku memang agak menomorduakan “negara mayaku” yang satu itu, terutama setelah mengenal kompasiana ini.

Setelah membaca status beberapa teman di facebook, perhatianku lebih tertuju pada status teman SMA-ku. Heni namanya (jangan GR lho Hen, namamu kusebut disini hehehe). “Berkasih sayang tidaklah harus menunggu hari ini, 14 Februari, yang datangnya hanya setahun sekali. Demikian juga bermaaf-maafan tidaklah harus menunggu datangnya hari lebaran. Setiap waktu, setiap ingat, dan setiap ada kesempatan mari kita lakukan”, begitu kira-kira Heni menuliskan statusnya. Dalam sekali maknanya menurutku, dan tanpa pikir panjang aku langsung memberikan komen “like this” di statusnya itu. Tetapi diujung statusnya Heni memberi catatan “siap menerima kiriman coklat setiap saat”. Halaah…ujung-ujungnya koq ya coklat. Kenapa mesti coklat sih? Emang gak bisa diganti uang ya hehehe (mauku sih!).

Bu Menkes, Saya Gemes Deh Sama Ibu!

Saya adalah ibu dari dua orang anak yang salah satunya masih berusia batita (1 tahun 8 bulan). Sampai saat ini anak saya yang berusia batita itu masih sangat tergantung dengan susu formula. Bukan karena saya malas memberi ASI, tetapi memang stok ASI saya sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan susu anak saya itu. Apalagi anak saya ini termasuk kuat dalam mengkonsumsi susu formula. Kalau dirata-rata bisa sekitar 8 botol ukuran 120ml/harinya. Akhirnya mau tidak mau susu formula adalah pilihan terakhir bagi saya agar anak saya tetap dapat mengkonsumsi susu.

Dan beberapa hari ini saya dibuat kesal, dongkol, jengkel, gemes, deg-degan dan juga was-was. Pokoknya kalau digambarkan lengkap sekali perasaan saya beberapa hari ini. Dan saya yakin perasaan yang sama juga dirasakan oleh beribu atau bahkan berjuta ibu yang mempunyai anak batita/balita seperti saya. Bagaimana tidak kesal, dongkol, jengkel, etc kalau hanya sekedar pengin tahu merek susu formula yang katanya terjangkit bakteri sakazakii saja, saya atau mungkin juga ibu-ibu yang mempunyai anak batita/balita se-Indonesia ini harus menunggu cukup lama. Saya yang orang awam dalam bidang kesehatan saja merasa bahwa ini bukan masalah yang sepele. Terutama kalau mengingat efek yang ditimbulkan dari bakteri berbahaya ini, yang katanya bisa menimbulkan sakit radang selaput otak atau meningitis, radang usus halus dan usus besar (enterokolitis), dan juga kematian sel (necrosis). Ibu mana coba yang bisa tenang-tenang saja kalau anaknya ternyata mengidap berbagai penyakit itu hanya karena mengkonsumsi susu formula merek tertentu. Apalagi konon ada sekitar 13,5% dari 74 sempel susu formula yang telah diteliti ternyata terkontaminasi bakteri sakazakii itu. Wah saya pikir ini bukan hal yang main-main lagi. Menurut saya itu adalah jumlah yang cukup banyak. Dan kenyataannya sampai sekarang belum juga diumumkan merek susu formula apa saja yang telah tercemar bakteri itu.

Kemarin Cabe, Sekarang Kedelai, Besok Apalagi Nih Pak Beye?

Kemarin sore saya dibuat terkejut oleh berita di salah satu televisi swasta. Bukan tentang crop circle atau tentang Gayus Tambunan. Bukan pula tentang kerusuhan berbau SARA yang akhir-akhir ini merebak kembali di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, tetapi ini masalah perut. “Harga kedelai meroket”, begitu kira-kira inti sari dari berita sore itu. Lantas apa hubungannya kedelai sama perut? Ya jelas ada dong! Kedelai kan bahan bakunya tempe, sementara saya sekeluarga termasuk penikmat utama tempe. Rasanya hampir setiap hari ada menu tempe dalam olahan hidangan keluarga saya. Entah itu berupa tempe goreng tepung, sambel goreng tempe, ataupun berbagai macam tumisan berbahan dasar tempe. Maklumlah saya bukan keluarga berada yang setiap harinya bisa makan dengan menu daging, telor, ayam ataupun ikan. Lagian kata ibu saya, selain murah meriah dan menyehatkan, tempe itu bikin awet muda. Saya sendiri juga tidak tahu, ibu saya dapat info itu dari mana. Yang jelas saya sih percaya saja sama omongan ibu saya itu. Buktinya saya sekeluarga tetap sehat-sehat saja meskipun hanya mengkonsumsi lauk tempe. Selain itu saya juga merasa tetap masih kelihatan muda, meskipun umur saya sudah hampir menginjak kepala empat (yang ini mungkin sugesti atau terlalu pede kali ya hehehe). Selain itu saya juga pernah melihat di buku KMS (Kartu Menuju Sehat) anak saya, bahwa tempe termasuk makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi selain nasi, sayur-sayuran, buah-buahan, daging, telor, ikan, dan susu. Nah klop bukan, kalau ibu saya suka menyuruh mengkonsumsi tempe dari dulu? Memang kenyataannya tempe itu murah meriah koq!

Anakku keturunan Cina (juga)

Keluarga besar mama sesaat sebelum upacara kremasi Mak Co sekitar 1 tahun lalu. Ada yang beragama Islam, Kristen, dan ada juga yang Katolik. (ini belum semua anak dan cucu mama hadir disini lho!)
Didalam darah anakku mengalir darah Cina. Mengapa bisa demikian? Ya, ibu mertuaku ternyata keturunan Cina. Ibu mertuaku ini adalah anak tertua dari 7 bersaudara. Meskipun keturunan Cina, tetapi ibu mertuaku adalah seorang muslim. Bahkan dari 7 bersaudara, ibu mertuaku itu satu-satunya yang menganut agama Islam. Sedangkan yang lainnya berkeyakinan berbeda. Ada yang beragama Kristen dan ada pula yang Katolik. Sementara orang tua dari ibu mertuaku (aku biasa menyebutnya Mak Co) sendiri beragama Kong Hu Cu, agama dari leluhurnya. Demokratis, begitu kata mama waktu itu. Mama, ya begitu aku biasa memanggil ibu mertuaku itu.
Entah mulai kapan mama menganut Islam. Waktu kecil rumah mama kebetulan dekat mesjid, begitu mula-mula mamaku bercerita. Mamaku sendiri lahir di Banyuwangi pada tanggal 24 April 1944, dan menghabiskan sebagian masa kecilnya di kota kelahirannya itu. Sebagai orang minoritas, mama justru tidak pernah menutup diri. Mama biasa bergaul dengan anak-anak di sekitar rumahnya. Hampir semua penduduk di sekitar mamaku tinggal beragama Islam. Karena pergaulannya itu pula, lama-lama mamaku pun memeluk Islam. Oleh karena itu sejak kapan tepatnya mamaku beragama Islam, tidak tahu pasti. Yang pasti sejak kecil, begitu mamaku selalu mengatakannya.