Rabu, 07 September 2011

Anakku keturunan Cina (juga)

Keluarga besar mama sesaat sebelum upacara kremasi Mak Co sekitar 1 tahun lalu. Ada yang beragama Islam, Kristen, dan ada juga yang Katolik. (ini belum semua anak dan cucu mama hadir disini lho!)
Didalam darah anakku mengalir darah Cina. Mengapa bisa demikian? Ya, ibu mertuaku ternyata keturunan Cina. Ibu mertuaku ini adalah anak tertua dari 7 bersaudara. Meskipun keturunan Cina, tetapi ibu mertuaku adalah seorang muslim. Bahkan dari 7 bersaudara, ibu mertuaku itu satu-satunya yang menganut agama Islam. Sedangkan yang lainnya berkeyakinan berbeda. Ada yang beragama Kristen dan ada pula yang Katolik. Sementara orang tua dari ibu mertuaku (aku biasa menyebutnya Mak Co) sendiri beragama Kong Hu Cu, agama dari leluhurnya. Demokratis, begitu kata mama waktu itu. Mama, ya begitu aku biasa memanggil ibu mertuaku itu.
Entah mulai kapan mama menganut Islam. Waktu kecil rumah mama kebetulan dekat mesjid, begitu mula-mula mamaku bercerita. Mamaku sendiri lahir di Banyuwangi pada tanggal 24 April 1944, dan menghabiskan sebagian masa kecilnya di kota kelahirannya itu. Sebagai orang minoritas, mama justru tidak pernah menutup diri. Mama biasa bergaul dengan anak-anak di sekitar rumahnya. Hampir semua penduduk di sekitar mamaku tinggal beragama Islam. Karena pergaulannya itu pula, lama-lama mamaku pun memeluk Islam. Oleh karena itu sejak kapan tepatnya mamaku beragama Islam, tidak tahu pasti. Yang pasti sejak kecil, begitu mamaku selalu mengatakannya.
Walaupun berkewarganegaraan Indonesia dan mempunyai nama Indonesia, tetapi mama masih mempunyai nama Cina. Nama Indonesia mama adalah Indrarini, sementara nama Cinanya adalah Tio Sin Nio. Cik Sin, begitu biasanya saudara-saudaranya mama memanggil. Tentang nama Indonesia-nya, mama juga tidak ingat kapan tepatnya mama mulai menyandang nama itu. Yang pasti sekitar tahun 1967, begitu katanya. Waktu itu katanya di Indonesia terjadi pergolakan politik yang hebat yaitu perubahan politik dari rezim orde lama ke orde baru. Bersamaan dengan itu pemerintah orde baru melarang semua kegiatan yang berbau Cina. Disamping itu pemerintah Indonesia juga meragukan rasa nasionalisme masyarakat keturunan Cina. Akibatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa masyarakat keturunan Cina pada saat itu untuk mengganti nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia. Nah supaya tampak seperti orang pribumi inilah, maka mamaku mengganti nama Cinanya dari Tio Sin Nio menjadi Indrarini. Pokoknya pas ada “pemutihan” kewarganegaraan itulah kira-kira mamaku mulai menyandang nama Indonesianya. Begitu pula dengan ketujuh saudara mama, semua mempunyai nama Indonesia, disamping nama Cina.

Sebagai warga keturunan, mama juga sering melakukan ritual-ritual yang berkaitan dengan kebiasaan orang-orang Cina pada umumnya. Misalnya pada hari-hari tertentu, mama juga suka membakar hio atau semacam dupa orang Cina. Katanya sih itu adalah suatu cara untuk menghormati arwah para leluhur. Meskipun demikian mama melakukan itu tidak di kuil atau klenteng, melainkan di dalam kamar tidur saja. Begitu pula pada saat tahun baru imlek, mama juga suka membeli kue keranjang, yaitu kue yang menurutku lebih mirip dengan kue dodol. Kue keranjang ini merupakan makanan khas orang Cina yang memang hanya ada pada saat tahun baru imlek. Menjelang tahun baru imlek, biasanya kue ini banyak dijual di supermarket atau toko-toko khusus yang menyediakan pernik-pernik untuk imlek. Ditempatku tinggal waktu itu sebenarnya susah untuk mendapatkan kue keranjang. Tetapi bagi mama tidak terlalu sulit untuk mendapatkan kue ini. Mama biasa nitip ke tante Lisa. Tante Lisa adalah pemilik salon langganan mama yang kebetulan orang keturunan juga. Tante Lisa biasa belanja keperluan salon ke luar kota. Nah pada saat tante Lisa belanja keperluan salon itulah, mama biasa nitip untuk dibelikan kue keranjang. Aku masih ingat betul bagaimana mama mengajari aku cara makan kue ini yaitu dengan cara diiris agak tipis terus dicelupkan di telur kocok baru kemudian digoreng. Dalam keadaan hangat, kue ini terasa lebih nikmat untuk disantap.


Kue keranjang atau Nian Gao, kue khas pada saat imlek.


Tahun baru imlek selalu identik dengan angpao. Bila saudara-saudara mama suka bagi-bagi angpao pas imlek tiba, seingatku mama justru tidak pernah melakukannya. Entah mengapa mama justru tidak pernah melakukan “ritual” tersebut. Mama justru biasa memberikan sesuatu benda atau barang, entah itu baju atau mainan kepada cucu-cucunya. Mungkin mama pikir, memberikan angpao berupa uang bukan suatu tindakan mendidik. Tapi itu baru mungkin lho! Maklumlah mamaku itu kan seorang pendidik, tepatnya guru bidang studi matematika di salah satu SMA.

Aku sering berpikir, mungkin benar kata orang-orang bahwa orang Cina itu terkenal ulet. Tidak jarang aku mendengar orang Cina yang sukses baik dalam usaha maupun kariernya. Tidak sedikit orang Cina yang jadi konglomerat dan pedagang. Mungkin salah satu kunci sukses orang Cina terletak pada keuletannya itu. Begitu pula dengan mamaku. Sebagai seorang guru, mama kuanggap sebagai guru yang ulet, teliti dan telaten. Selama kurang lebih setahun aku tinggal bersama dengan mamaku itu, aku tahu betul betapa telitinya mama. Setiap kali aku membantu mama mengoreksi ulangan murid-muridnya, mama senantiasa mengulang kembali hasil koreksianku. Ya namanya bukan guru matematika, kali-kali aja aku keliru dalam mengoreksi, begitu mungkin pikir mama waktu itu. Pokoknya kalau dalam hal belajar, aku salut sama mamaku itu. Bagaimana tidak, diusianya yang tidak lagi muda atau sekitar 50 tahun, mama berhasil meraih gelar Spd. “Mama tuh gak mau kalah sama kalian. Mosok enam orang anak mama S1 semua, sementara mama cuma sarjana muda”, begitu waktu itu mama bilang. Ya, disela-sela kesibukannya mengajar di sekolah dan memberi les privat di rumah, akhirnya mama masih menyempatkan diri ikut UT (universitas terbuka) hingga meraih gelar Spd.

Tapi itu dulu, kira-kira 6 tahun yang lalu. Sekarang mama sudah tiada. Penyakit kanker telah menggerogoti rahim mamaku. Sekitar satu tahun setelah pensiun, mama didiagnosa terkena kanker rahim stadium 2D. Sebenarnya mama sudah berobat ke salah satu rumah sakit di Surabaya, sudah sampai dikemoterapi segala malahan. Hampir setahun lamanya mama di rawat disana. Tetapi rupanya sel-sel kanker begitu cepat menyebar di tubuh mama. Dari foto rontgen yang kulihat, ternyata kanker mama sudah menjalar ke paru-paru dan juga kaki. Bahkan salah satu dengkul kaki mama sampai membengkak akibat keganasan penyakit itu. Praktis saat itu mama lumpuh hampir seluruh badan kecuali kedua tangannya. Miris sebenarnya kalau melihat kondisi mama saat itu, mama yang dulu badannya segar tampak kurus dan sayu, mama yang dulunya gesit menjadi orang yang serba tergantung dengan orang lain bahkan untuk memiringkan badannya sekalipun. Dokter sendiri menyerahkan keputusan kepada pihak keluarga, apakah akan tetap merawat mama dirumah sakit atau dirawat dirumah sendiri. Dengan dibantu seorang perawat dan tetap dipantau dokter, akhirya keluarga memutuskan untuk merawat mama dirumah. Setelah satu bulan mama dirawat dirumah, akhirnya mama pun harus menyerah dengan penyakitnya. Tepat hari Minggu tanggal 17 Juli 2005, menjelang sholat dhuhur, mama menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pergi dengan tenang tanpa pesan. Meninggalkan kenangan yang mendalam dihati anak-anaknya, menantu-menantunya dan juga cucu-cucunya.

Dan kini ketika imlek datang, kenangan dengan mama serasa hadir kembali. Ingin rasanya kubisikkan ke mama, “Mama, kini bertambah lagi anggota Hitaci di keluarga kita, dan itu adalah anakku.” Hitaci atau hitam tapi Cina, ya istilah inilah yang seringkali digunakan jika ada “anggota baru” yang ditandai dengan lahirnya seorang bayi ditengah-tengah keluarga besar mama. Mengapa disebut hitaci karena tidak semua cucu mama berkulit putih dan bermata sipit layaknya orang Cina pada umumnya. Sebagian besar dari cucu mama justru berkulit sawo matang dan bermata belok. Hal ini bisa terjadi karena menantu mamapun berasal dari berbagai macam suku, ada suku Sunda, Jawa, Banjar, bahkan sekarang ada yang dari suku Bugis. Karena itulah akhirnya muncul istilah hitaci didalam keluarga kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar