Selasa, 10 September 2013

Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Kalau berbicara tentang kesetaraan gender, lagi-lagi ingatan saya langsung mengarah ke figur pahlawan emansipasi wanita kita yaitu Raden Ajeng Kartini. Seperti kita ketahui, Raden Ajeng Kartini adalah seorang puteri Bupati Jepara bernama Raden Mas Aryo Sosroningrat. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Desa Mayong Jepara Jawa Tengah. Sebagai seorang puteri bangsawan, Kartini muda merasakan betul betapa kaum perempuan pada masanya dulu telah terbelenggu dan terjajah oleh adat dan feodalisme. Pada masanya dulu, kebebasan untuk mengenyam pendidikan tidak dimiliki oleh kaum perempuan. Seorang perempuan di usia 12 tahun pada saat itu harus sudah dipingit, artinya ia tak boleh lagi belajar di luar rumah atau di sekolah formal. Hal ini juga berlaku pada Kartini muda.

Untungnya sejak kecil Kartini telah menjalin pertemanan dengan seorang anak Belanda yang bernama Rosa Abendanon. Berkat Rosa pula, Kartini belajar bahasa Belanda. Ia juga mulai menuliskan "kegelisahan-kegelisahannya" ke dalam bahasa Belanja dan selanjutkan tulisannya itu ia kirimkan kepada Rosa, sahabatnya itu. Meskipun masih muda, Kartini mulai melakukan "pemberontakan" melalui tulisan-tulisan yang ia kirimkan pada Rosa untuk mendapatkan kesempatan dan kesetaraan dalam pendidikan bagi kaum perempuan pada masanya. Kemerdekaan berpikir dan semua perasaannya yang ia tuangkan dalam tulisan-tulisannya itu pada akhirnya dibukukan sebagai kumpulan surat-surat Kartini dan diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Kita tentu pernah mendengar ungkapan Jawa yang menyatakan bahwa perempuan itu sekedar konco wingking (teman di belakang atau di rumah). Ibaratnya kata perempuan itu bisanya ya cuma masak, macak (berhias) dan manak (melahirkan). Ungkapan itu sebenarnya lebih didasari pada pandangan bahwa perempuan itu tugasnya lebih dominan di sektor domestik. Memasak, melahirkan dan mengurus keluarga memang seharusnya menjadi tugas perempuan sebagai ibu rumah tangga. Jadi sudah kodratnya jika perempuan itu tugasnya tidak jauh-jauh dari semua yang berbau sumur, kasur dan pupur (bedak). Sementara tugas laki-laki lebih dominan di sektor publik. Jadi mencari nafkah untuk keluarga adalah kewajiban kaum laki-laki sebagai kepala keluarga.

Seperti yang saya ungkapkan di atas, di era Kartini dulu kaum perempuan tidak diijinkan untuk mengenyam pendidikan formal karena pendidikan memang hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki. Untuk apa sekolah tinggi-tingi, toh nantinya juga cuma bekerja di dapur? Pandangan seperti ini sudah lama melekat di kalangan masyarakat kita. Sebagai suatu konstruksi sosial, paradigma semacam ini sudah selayaknya diubah. Sekarang jaman juga sudah berubah. Di era serba modern ini, perempuan sudah boleh bekerja di sektor publik.

Seiring dengan kemajuan teknologi, kaum perempuan sekarang sudah banyak yang melek teknologi dan informasi. Di era modern ini, perempuan juga sudah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi. Perempuan sudah tidak bisa dipandang lagi sebelah mata. Pada akhirnya banyak sekali profesi yang dulunya dominan dilakukan oleh laki-laki, sekarang menjadi lazim dilakukan oleh perempuan. Lihat saja berapa banyak perempuan yang menduduki jabatan direktur, manajer, atau bahkan arsitek. Jabatan-jabatan tersebut umumnya dulu diduduki oleh kaum laki-laki. Tapi seiring dengan kemajuan jaman, hal itu memungkinkan dijabat oleh perempuan. Perubahan paradigma inilah yang memungkinkan perempuan menjadi pemimpin. Jaman sekarang perempuan juga bisa menjadi kepala negara, bisa menjadi menteri dan juga menjadi anggota dewan.


Megawati Soekarno Putri, pernah memimpin negeri ini (sumber : http://javanews.co)

Apakah dalam kondisi ini bisa disebut sebagai perempuan yang menyalahi kodrat? Saya rasa tidak. Di jaman globalisasi ini “bertukar peran” antara tugas kaum laki-laki dengan kaum perempuan, atau sebaliknya bukanlah hal yang baru. Apalagi dengan didukung adanya isu kesetaraan gender, laki-laki berprofesi di bidang yang mayoritas ditekuni perempuan atau sebaliknya perempuan berkutat di bidang pekerjaan yang mayoritas ditekuni oleh laki-laki sudah jamak terjadi. Jadi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan permasalahan menyalahi kodrat.

Sebagai contoh misalnya seorang ibu rumah tangga yang semula hanya bekerja di lingkup domestik, memasak, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah tangga pada umumnya, tiba-tiba harus bekerja di sektor publik menjadi sopir misalnya lantaran suaminya sakit dan tidak memungkinkannya untuk menunaikan tugasnya dalam mencari nafkah sebagai sopir. Apakah kondisi yang demikian ini dapat dipandang sebagai menyalahi kodrat? Saya lebih sependapat jika hal tersebut dimungkinkan terjadi lantaran tuntutan hidup. Kalau bukan karena tuntutan dapur agar tetap mengebul, tentunya ibu tersebut tidak akan bertindak "menyalahi kodrat"nya. Toh masih banyak pekerjaan lain yang dipandang lebih feminim daripada menjadi sopir.

Perempuan sebagai sopir, why not? Yang pentig dapur tetap mengebul (foto minjam di FBnya Mbak Olyvia Bendon)

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan itu kodratnya mengandung dan melahirkan. Sementara kaum laki-laki kebagian “jatah” untuk membuahi perempuan. Kodrat inilah yang tidak mungkin bisa diubah. Selebihnya paradigma tentang perempuan itu bisanya cuma masak, manak dan macak masih bisa diubah. Dengan pandangan yang baru tentang peran perempuan tak harus melulu di sektor domestik menjadikan kita tidak akan asing melihat para bapak memandikan anaknya atau memberikan susu formula untuk anaknya seperti foto dibawah ini, manakala istri sedang bekerja di luar rumah. Jadi ini bukan sekedar persoalan "menyalahi kodrat". Pertukaran peran itu pun juga dimungkinkan terjadi jika ada kesepakat bersama antara keduanya. 

Bapak-bapak memberi susu pada anaknya, itu sudah biasa sekarang ini 


Seperti kita ketahui, saat ini anggota DPRI RI pun tegah membentuk Panitia Kerja Rancangan Undang Undang tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) DPR RI. Adanya RUU KKG ini dimaksudkan agar negara mau memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Memang RUU KG ini masih belum tuntas sepenuhnya, tapi setidaknya upaya ke arah sana sedang diupayakan demi menunjukkan bahwa kaum perempuan bukan warga kelas dua di negeri ini, bukan objek kekerasan. Kaum perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan juga. Mereka adalah tiang rumah tangga, pewaris generasi penerus, dan berbagai multiperan yang biasa dijalaninya saat ini.

Kembali ke persoalan kesetaraan gender, banyak orang awam yang masih beranggapan bahwa perspektif “gender” di sini diartikan sebagai simbolisasi “emansipasi wanita”. Mereka berpandangan bahwa para perempuan mulai menuntut hak-haknya dan ingin diperlakukan sama persis dengan kaum laki-laki. Padahal kenyataannya kesetaraan gender dalam hal ini tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan segala sesuatunya. Bagaimana pun juga segala sesuatu yang dituntut oleh kaum perempuan tak bisa mutlak sama persis dengan kaum laki-laki. Karena pada dasarnya, kaum perempuan tentunya tidak akan siap jika harus menanggung beban berat yang biasa ditanggung oleh laki-laki. Begitu pun sebaliknya laki-laki pun tidak akan bisa menyelesaikan semua tugas rutin rumah tangga yang biasa dikerjakan perempuan. Semua itu dimungkinkan terjadi atas dasar kondisi atau faktor-faktor tertentu, seperti contoh kasus yang saya kemukakan di atas.

Pada dasarnya apa yang tengah diupayakan oleh anggota dewan kita berkaitan dengan RUU KG ini adalah dalam upaya untuk menghilangkan deskriminasi terhadap kaum perempuan yang masih saja terus berlangsung saat ini. Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender masih banyak terjadi di negeri ini. Akibatnya banyak perempuan yang cenderung terkonsentrasi pada sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih rendah daripada laki-laki. Belum lagi ditambah dengan asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan di sektor publik.      

Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya kasus-kasus yang sering menimpa perempuan, misalnya perdagangan perempuan, prostitusi dan juga pelecehan perempuan. Meskipun pelecehan seksual saat ini dianggap sebagai kejahatan, akan tetapi hal itu umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan masih dianggap kaum yang lemah, sehingga pantas atau layak untuk dilecehkan. Itu sudah merupakan ancaman serius bagi perempuan Indonesia, terutama mereka yang miskin dan kurang berpendidikan. Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2004 menemukan bahwa 90% perempuan mengaku telah mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual di tempat kerja. Angka tersebut bisa mungkin bertambah, kalau tidak ada upaya untuk memperbaikinya. Karena itu sudah selayaknya perempuan itu diberdayakan. Perempuan berhak untuk mendapat pendidikan yang layak setara kaum laki-laki agar perempuan tak selalu dianggap kaum yang lemah, bodoh dan tak layak untuk jadi pemimpin. Itulah sebenarnya esensi dari kesetaraan gender di sini. Bukan semata-mata karena perempuan ingin dianggap sebagai makhluk yang lebih kuat daripada laki-laki. Tanpa hal itu pun kita juga mengakui, setiap perempuan itu kuat dan tangguh. Perempuan mampu melahirkan, sementara laki-laki tak bisa melakukan hal tersebut. Itu bukti bahwa perempuan itu kuat. Dengan upaya yang terus-menerus dalam membangun kesetaraan gender, itu berarti kita sudah berusaha membangun kesejahteraan bangsa. Pada akhirnya kita pun turut membangun peradaban bangsa. Itulah hal yang utama dan penting bagi  pembentukan jatidiri bangsa ini ke depan.





Note : tulisan ini diikutsertakan dalam even 2nd Give Away #Perempuan Keumala


18 komentar:

  1. Mbak, yang dulu saya dengar: kasur, sumur dan dapur. Udah ganti ya sekarang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. @kaka akin : sumur, dapur, kasur dan pupur itu sdh setali tiga uang mba, sama2 jadi bagian keseharian perempuan katanya :D

      Hapus
  2. di angkot yang sering aku naiki, sopirnya perempuan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. @mama arka : koq gak dipoto, kan bisa kupinjam :D

      Hapus
  3. waktu di jawa dulu sering lihat sopir cewek malahan,angkat gerobak sampah juga cewek,kuli bangunan juga pernah lihat....

    BalasHapus
    Balasan
    1. @mba hanna : iya di jawa dulu jg sering lht, tp di kaltim blas blm lihat je aku

      Hapus
  4. Mbak Edi, terima kasih telah berpartisipasi di 2nd Giveaway PerempuanKeumala

    'ngumpet melihat gambar sopir dipajang di sini

    BalasHapus
    Balasan
    1. @PK : huwahahaha...iya tuh sopir bus trans jkt nya bkn sembarang sopir lho itu, sopir yg tentengannya dslr dan sering keluar masuk kuburan :D

      Hapus
  5. ^_^ suka banget baca ini. walaupun perempuan ku msh gak bs masak wkwkwk

    visit my blog ^_^
    www.LuchLuchCraft.com
    My online store ^_^
    www.TokoLuchLuchCraft.biz

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mba inge...saya jg gak pandai masak koq, bisanya masak yg simpel2 :)

      Hapus
  6. Jaman sudah berubah, Sekarang sudah banyak wanita yang meniti karir dan bekerja keluar dari rumahnya.Wanita yang menjadi Jenderal juga sudah ada kok jeng.
    Ketika saya bergabung dengan UNTAG yang mengemban misi perdamaian di Namibia juga banyak tentara wanita yang ikut.

    Tetapi, ngurus rumah tangga ya jangan dilupakan lho. Walaupun wanita menjadi jenderal tapi sekali-kali nguleg sambel untuk suami tercinta juga tak dilarang oleh kesatuannya he he he

    Apik artikelnya. Semoga berjaya dalam GA

    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul pakde...jaman memang sdh berubah, saya jg sdh pernah lihat pilot perempuan lho :)
      makasih pakde...sayangnya artikel ini gak menang :D tp saya gak kapok ikutan kontes nulis koq :D

      Hapus
  7. Kolom komentar kayaknya perlu di set ulang agar semua url bisa masuk Jeng.
    Centang "anyone" pada menu "Who can comment?" di dashboard (menu post and comment).
    Sekedar saran untuk memanjakan pengunjung ;lho.

    BalasHapus
  8. sippp pakde, sarannya sdh dilaksanakan...makasih :)

    BalasHapus
  9. posting bagus, senang saya baca artikel ini, menarik Gan.
    Lam kenal ya ditunggu updatenya, thanks

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih sdh membaca artikel ini :)
      salam kenal ya :)

      Hapus
  10. Sebenarnya wanita lebih kuat dari laki-laki, fakta tak pernah ada tawaran obat kuat khusus wanita. Yang ada jamu kuat laki-laki.....

    BalasHapus