Rabu, 18 Januari 2017

Sepotong Senja di Chao Phraya bersama Tom Yam

Sepotong Senja di Chao Phraya bersama Tom Yam

Menikmati Tom Yam langsung dari negara asalnya? Wow... siapa yang tak tergoda? Thailand, ya Negeri Gajah Putih tempat muasal Tom Yam ini memang belum pernah saya kunjungi. Meskipun demikian, toh beberapa kuliner asal Thailand pernah saya cicipi di Tanah Air, setidaknya di restoran Thailand di kota kelahiran saya, Yogyakarta. Di Yogyakarta sendiri ada beberapa restoran yang spesial menyajikan hidangan khas Thailand. Salah satunya adalah restoran Thailand yang terletak di Jalan Taman Siswa, kurang lebih hanya sekitar 300 meter dari rumah saya di Yogyakarta sana. Tom Yam adalah salah satu menu favorit saya jika berkunjung ke restoran Thailand ini. 

Hidangan berkuah semacam sup seafood ini rasanya asam-asam pedas, sungguh menggugah selera. Apalagi dinikmati dalam kondisi masih panas di saat cuaca dingin atau musim penghujan seperti sekarang ini, pasti langsung menambah kehangatan tubuh sekian derajat dari suhu sebelumnya. Semangkok Tom Yam bisa saja kurang buat saya, terutama di saat kondisi badan sedang "aras-arasen" istilah Jawanya atau kurang bersemangat, Tom Yam yang pedas itu sudah mampu mengembalikan semangat saya. Potongan cumi yang dipadu dengan udang dan beberapa sayuran, bisa wortel ataupun bunga kol dalam rendaman kuah asam pedas itu sungguh pas dilidah saya. Aroma daun serai, daun jeruk, lengkuas, cabai merah menyatu bersama bumbu-bumbu lainnya benar-benar nendang rasanya. 

Hampir serupa dengan kuliner nusantara gulai kepala ikan, yang kalau tak pedas dan asam kurang maknyus bagi saya. Begitu pun dengan Tom Yam ini. Rasa amis layaknya makanan berbahan dasar seafood lenyap manakala dipadu dengan kucuran air jeruk nipis dalam racikan bumbunya. Itulah kenapa, Tom Yam terasa asam-asam pedas di lidah. Kalau sedang berkunjung di restoran Thailand, menu satu ini tak pernah ketinggalan. Lain saya, lain pula anak saya. Sebagai anak SD yang tidak suka makanan yang serbapedas, membuat anak saya melirik ke menu lain yang lebih familiar di lidah orang Indonesia pada umumnya, yaitu nasi goreng. Ya, siapa yang tak kenal nasi goreng? Kalau Anda tak kenal nasi goreng berarti tingkat kegantengan Anda turun 5 tingkat dibandingkan Presiden Barack Obama hahaha. President Obama adalah salah satu presiden di dunia ini yang berani menyebut nasi goreng, sate dan bakso sebagai kuliner Nusantara yang lezat. Mosok Anda kalah sama presiden Amerika itu sih? Kalau nasi goreng ala Indonesia sudah acap kali anda santap, bagaimana dengan nasi goreng ala Thailand?

Khao Pad Poo atau nasi goreng Thailand ala saya hehehe (dok.pri)

Hampir sama dengan nasi goreng Indonesia, nasi goreng Thailand pun ada campuran telur dan kadang juga ada daging kepitingnya. Persis nasi goreng seafood yang biasa dijual di restoran Indonesia. Koq bisa mirip ya? Memang konon katanya Thailand itu agak-agak mirip dengan Indonesia. Bangkok misalnya, sebagai ibu kota negara sangatlah mirip dengan ibu kota negara kita Jakarta, baik dalam tata kotanya maupun kemacetannya. Begitu pula dengan kulinernya, seperti pada nasi goreng tadi. Bedanya, nasi goreng Thailand atau biasa disebut Khao Pad Poo ini dimasak dengan menggunakan campuran bunga melati, perasan air jeruk nipis dan saus ikan khas Thailand. Tak heran nasi goreng Thailand rasanya juga agak-agak asam dan sangat kental aroma melatinya. Ini merupakan menu andalan anak saya jika berkunjung ke restoran Thailand.

Sweet Cassava atau Singkong Thailand ala saya (dok.pri)

Setelah puas makan, tak lengkap rasanya jika tidak ada minumannya. Segelas Cha Yen atau semacam teh yang dicampur dengan rempah-rempah (asam, adas) serta creamer (susu) cukup menambah hangat suasana santap bersama keluarga. Kalau cuaca sedang panas, cukup menambah beberapa potongan es batu ke dalamnya, dijamin tetap akan segar rasanya. Kalaupun masih dirasa belum cukup dan perut masih mampu menampung makanan, bisa juga ditambah dessert Singkong Thailand atau biasa disebut dengan Sweet Cassava. Sweet Cassava ini berupa potongan singkong yang direbus dengan air dan gula sampai lunak kemudian disiram dengan kuah santan yang kental. Bisa juga ditambah topping parutan keju bila suka. Hmmm... legit-legit gurih menggoda. Lumer dan pecah di mulut deh. Sepiring kecil Singkong Thailand cukuplah karena menu ini juga sangat mengenyangkan jika disantap dalam porsi yang banyak. Jadi tak perlu banyak-banyaklah agar kenikmatan bersantap semangkok Tom Yam atau sepiring Khao Pad Poo lenyap akibat perut Anda terlalu penuh atau istilahnya Jawanya bengep akibat kekenyangan.  

Ya kalau habis makan Anda tidak ada aktivitas lain, bisa saja bersantai sambil melonggarkan isi perut. Tapi bagaimana jika Anda berencana menghabiskan hari sambil jalan-jalan, menyusuri Sungai Chao Phraya misalnya, anggap aja kita sudah berada di Thailand ya hahaha. Kan gak asyik jalan-jalan perutnya kekenyangan.

Salah satu bagian dari restoran Thailand di Jalan Taman Siswa Yogyakarta. Ada bendera Thailandnya juga. Foto diambil medio 2013 (dok.pri)

Sekarang ini Singkong Thailand tak melulu dijual di restoran Thailand. Di kafe-kafe pun mulai banyak dijajakan dan menjadi pesaing utama pisang keju yang telah dulu ada. Bahkan di hotel-hotel berbintang juga mulai diperkenalkan. Singkong yang harganya tak lebih dari 5 ribu rupiah per kilonya, menjadi "naik kelas" ketika diolah menjadi Singkong Thailand ini. Saya sendiri biasa mengolah singkong menjadi Singkong Thailand karena begitu mudahnya membuat menu satu ini. Lumayan untuk sekedar menemani ngeteh di sore hari. Bahkan bagi keluarga saya singkong sudah menjadi hidangan yang wajib untuk berbuka di kala bulan puasa. Entah itu hanya sekedar digoreng crispy ataupun diolah menjadi Singkong Thailand tak menjadi masalah bagi keluarga kecil saya

Tom Yam ala restoran Thailand di Yogyakarta (dok.pri)

Sayangnya di kota saya tinggal sekarang ini tak ada restoran Thailand. Dan kerinduan pada menu-menu khas Thailand di restoran Kota Gudeg itu mau tak mau membuat saya menjadi sedikit "kreatif". Beberapa kali saya berhasil menduplikat kuliner Thailand ke dapur saya. Alhasil, keluarga tak pernah komplain dengan masakan saya itu. Kalaupun tak mirip rasanya, setidaknya tampilannya sudah mirip hahaha. Toh kata teman saya yang sudah berkunjung ke Thailand, di sana juga tak semua menu seragam rasanya. Jadi jangan heran bila kita menemukan menu yang sama, tapi rasanya berbeda antara restoran yang satu dengan restoran yang lain, meski itu sama-sama terdapat di sepanjang Chao Phraya.

Novel inilah yang membuat saya sering berkhayal berkunjung ke Thailand hehehe (dok.pri)

Saya memang sering berkhayal untuk bisa menghabiskan senja di Chao Phraya sembari menikmati kuliner khas Thailand yang banyak ditawarkan di restoran sepanjang sungai yang menjadi penopang penghidupan orang-orang yang bermukim di tepiannya itu. Apalagi semenjak saya membaca novel "Senja di Chao Phraya", karangan seorang teman di Yogyakarta yang begitu apik menampilkan tempat-tempat yang indah di Thailand sebagai setting ceritanya, menjadikan keinginan untuk berkunjung ke sana kian menggebu.  Tak hanya sekedar ingin melihat The Golden Buddha atau "Phra Phuttha Suwon Patimakon", patung Buddha yang terbuat dari emas dan tingginya tak kurang dari 3 meter itu, tapi saya juga sering menghayal menjadi Laras, salah satu tokoh dalam novel karya teman saya itu. Betapa Laras yang karena pekerjaannya mengharuskan ia bolak-balik Indonesian-Thailand, akhirnya menginap di Hotel Golden Temple, yang kalau ingin ke Sungai Chao Phraya cukup berjalan kaki saja. Di restoran pinggir sungai itulah Laras biasa menikmati senja bersama Osken O'Shea, pujaan hatinya. Lelaki campuran Turki dan Irlandia. Menikmati kuliner Thailand di waktu senja bersama pujaan hati di pinggir Sungai Chao Phraya, oh so sweet. Benar-benar romantis!   Tak hanya restoran dan pedagang kaki lima di sepanjang Sungai Chao Phraya yang menjajakan makanan-makanan enak. Di Phuket misalnya, salah satu pulau terbesar di Thailand sekaligus menjadi destinasi wisata populer di negara tersebut, bahkan ada yang namanya Phuket Walking Street yang menjajakan aneka macam kuliner Thailand. Dan menariknya semuanya enak-enak dan murah. Bahkan banyak juga jajanan yang dijual di sana mirip dengan jajanan Indonesia.  Ada lumpia goreng, sosis bakar, pentol bakar, martabak yang dalamnya diisi pisang, bahkan jagung rebus dan kacang rebus juga ada. Jadi kita tak perlu khawatir akan kesulitan menyesuaikan lidah kita dengan aneka makanan di sana jika kita berkunjung ke Thailand. Semua bisa kita pilih sesuai selera, mau yang halal atau haram juga ada. Bahkan menu yang ekstrem semacam belalang goreng seperti yang dijual di sepanjang jalan ke arah Wonosari Yogyakarta, jangkrik goreng dan kecoa goreng pun dijual di Phuket Walking Street tadi. Makanya jangan terlalu penuh mengisi perut jika sedang jalan-jalan ke Thailand. Setidaknya begitu pesan teman saya yang pernah beberapa hari liburan ke Thailand. Itu mungkin salah satu yang membuat saya ingin berkunjung ke Thailand. Selain banyak destinasi wisata yang menarik, menu makanannya pun beragam, enak-enak, dan murah pula. Tak hanya berkhayal menikmati Tom Yam di waktu senja di pinggir Chao Phraya, tapi saya juga ingin menyusuri sungainya, naik boat melintas Rama 8 Bridge sembari menyantap Konom Krok, kue kelapa seukuran takoyaki yang ditaburi daun bawang. Atau naik Tuk-Tuk menyusuri jalan-jalan di Bangkok sambil menyantap Kha Nie Ma Muang, dessert ketan yang disajikan dengan potongan mangga segar dan saus santan yang manis. Hmmm... Yummy. Tapi semua ini masih khayalan dan saya tetap membiarkan khayalan saya ini tumbuh subur dalam benak saya. Entah kapan akan tumbuh menjadi kenyataan, ya kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan diberi umur panjang dan rejeki sehingga bisa benar-benar menikmati Tom Yam dari negara asalnya. Aamiin... Doain ya... 

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/edikusumawati/sepotong-senja-di-chao-phraya-bersama-tom-yam_5878864c22afbd1e0761303d

Note : Tulisan ini sudah saya post ke Kompasiana pada tanggal 13 Januari 2017 lalu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar