Jumat, 04 November 2011

Sisi Lain Mbak Edi (Sepenggal Kisah)


Setiap orang pada dasarnya mempunyai sisi lain dalam kehidupannya yang mungkin tidak tampak di permukaan. Sebagai contoh misalnya saja saya sendiri. Orang mengira selama ini saya adalah perempuan tipikal ceria. Dimana-mana menebar keceriaan. Senangnya cengengesan. Bahkan di postingan yang sifatnya serius pun saya tetap suka cengengesan. Tapi itulah senyatanya saya. Dalam keseharian saya memang selalu ceria. Banyolan-banyolan ala pelawak sering sekali saya lakukan jika sedang berkumpul dengan keluarga besar saya. Tak hanya saya sebenarnya, hampir semua keluarga besar saya senang membanyol. Karena saking seringnya nyeletuk hal-hal yang konyol itulah, maka sampai-sampai kami menggelari keluarga kami sendiri dengan sebutan "keluarga srimulat".
Itu mungkin yang selalu tampak di permukaan, tapi sejujurnya saya mempunyai sisi lain yang bertolak belakang dengan itu. Saya sebenarnya orangnya mudah menangis. Tapi menangis saya bukan karena apa-apa, melainkan lebih pada rasa haru, rasa bahagia, dan juga rasa bangga. Jadi bukan karena sedih saya langsung menangis. Karena pada dasarnya saya bukan tipikal wanita yang "melow". Saya sendiri juga bingung dengan istilah "melow" ini. Apakah ketika saya menangis terharu, atau menangis karena bahagia dan bangga, lantas saya sudah dikatakan "melow", entahlah saya sendiri kurang tahu. Yang jelas begitulah saya, menangis saya hanya terjadi di saat-saat tertentu seperti itu. Tapi jangan dibayangkan saya menangis yang meratap-ratap begitu lho. Menangis saya pun hanya sebatas menitikkan air mata, itupun buru-buru akan saya hapus ketika ada orang lain yang melihatnya. Jadi kesannya malah nangis jaim gitu kali ya. Tapi ya begitulah, saya memang malu kalo sampai ketahuan orang lain sedang menangis. Saya berpikiran, biarlah saya menangis asalkan orang lain jangan sampai tahu. Malu kali ya kalo sampai ada yang bilang "Mbak Edi menangis, apa kata dunia?" hehehehe.
Ya begitulah sisi lain dari saya. Sebagai contoh ketika kemarin saat saya ulang tahun yang ke-38 (sudah tuwir ya, biarin tuwir yang penting tetap seksi hahaha). Banyak sekali ternyata yang perhatian dengan saya. Banyak sekali yang mengucapkan selamat ultah buat saya, baik lewat sms, lewat postingan di Kompasiana ini, lewat inbox, lewat FB, lewat YM, ataupun secara langsung. Dan karena mungkin tidak semuanya dapat saya balas satu persatu, maka pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian teman-teman semua. Terima kasih atas doanya. Mudah-mudahan Allah membalas kebaikan teman-teman semua. Bahagia, senang, bangga sekaligus haru menjadi satu. Karena itulah saya pun menitikkan air mata. Betapa bahagia, senang dan bangganya saya bisa berteman dengan para penulis hebat di Kompasiana ini. Walaupun sebagian besar belum pernah bertemu, tapi mereka masih mau meluangkan sejenak perhatian ke saya, itu sungguh mengharukan bagi saya. Maka wajar jika saya pun sampai menitikkan air mata.
Dari sekian banyak ucapan ultah yang saya terima kemarin, ini adalah salah satunya.
My dearest sister, Edi Kusumawati Adi Cahya,,
It's been nearly 1,5 years,
We haven't seen each other,,
And for nearly 1.5 years,
I've been missing you,,
Dear sister,,
Do you still remember the time when this baby Ana ran away from you
because you forced her to take a bath?
You ran fast after her,,
showing yourself couldn't be beaten by this such tiny brat,,
And this baby Ana, with her short legs and tiny feet, was easily caught by you.
Then she cried,,
She cried loudly,,
She cried cause she knew she had failed,,
"If only I could run faster,, If only I could have longer legs, bigger feet,, Not much, just like hers."
This is what the baby Ana was saying to herself when you dragged her to the bathroom.
Since the bathroom drama, I've always learned from you,,
How to be tough, how to be strong, how to be independent,
How to care...
Thank you Mbak Edi,
You're 38 now,,
Wish you to be a better wife, a better Mom, a better daughter, a better friend, and a better sister.
Happy Birthday :)

Ini adalah ucapan yang saya terima dari adik bungsu saya (kebetulan ia Kompasianer juga). Membaca ucapan itu membuat saya terharu. Ana (adik saya itu) sedikit banyak mewarisi sifat-sifat saya. Ana juga cenderung keras kepala seperti saya, apalagi kalo sedang mempertahankan pendapat yang dirasanya benar. Mungkin karena sebagian besar sifatnya sama dengan saya, orang tua saya selalu "mempercayakan" segala permasalahan tentang Ana ini ke saya selaku kakak sulungnya. Dan memang kenyataannya Ana ini hanya bisa menurut dengan omongan saya dibandingkan dengan dua orang kakak lainnya. Dan gara-gara ucapan yang kemarin dia kirim saat ultah saya itulah, saya tahu betapa dia selama ini memang banyak belajar dari saya. Sungguh saya terharu dibuatnya hiks...hiks...lebay ya.

bapak saya ketika berorasi di depan kraton Yogyakarta (ceritanya hehehe)


Dimata Ana, saya mungkin tampak kuat dan mandiri. Tapi sejujurnya saya bisa begitu justru karena saya belajar dari bapak saya sendiri. Bapak saya sendiri adalah seorang yang saya idolakan. Istilahnya saya ngefans berat sama bapak saya itu hehehe. Jiwa kepemimpinan bapak sudah saya lihat sejak kecil. Mulai saya kecil, bapak sudah sibuk jadi ketua RT, ketua RW dan beberapa posisi ketua-ketua yang lain, baik di bidang keagamaan maupun kesenian. Bahkan sampai sekarang pun bapak saya juga masih menjabat sebagai ketua di salah satu organisasi sosial (pengusaha eh pedagang ceritanya hehehe) di Yogyakarta. Mungkin gara-gara itu pula, maka bapak saya diwawancarai oleh wartawan RCTI. Ceritanya bapak saya jadi seleb sehari gitu pas acara Seputar Indonesia siang pada hari Selasa kemarin hehehe. Kebetulan khan kemarin di Yogyakarta ada perhelatan agung, yaitu pernikahan putri Sri Sultan HB ke-X. Bapak yang kebetulan jadi panitia seksi sibuk, ikutan memantau acara kerja bakti pemasangan janur atau umbul-umbul di sepanjang jalan Malioboro gitu. Terus-terang saya bangga bapak saya masuk televisi hehehe.
Kebanggaan saya terhadap bapak ini mungkin tidak disadari oleh Ana. Bisa jadi karena faktor usia kali ya, mengingat jarak usia saya dengan Ana terpaut hampir 13 tahun. Jadi ketika Ana masih kecil, dia belum tahu betapa kami dulu hidup susah. Semua pekerjaan rasanya sudah pernah dilakoni oleh bapak (juga ibu) demi bisa membiayai kehidupan kami sekeluarga. Jatuh bangun dalam usaha sudah sering menimpa keluarga kami, dan waktu itu Ana masih kecil. Dari situlah saya belajar banyak. Bagaimana usaha bapak dan ibu demi anak-anaknya (yang 4 orang) tetap bisa sekolah bahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Alhamdulillah keempat saudara kakak beradik ini akhirnya mampu menyelesaikan kuliahnya masing-masing dalam waktu singkat (kurang dari 5 tahun dan 2 diantaranya bisa cumlaude di Universitas Negeri ternama di Yogyakarta). Sungguh itu suatu kebahagiaan yang tak terhingga bagi kedua orang tua saya. Melihat keempat anaknya bisa memperoleh gelar sarjana S1, sementara mereka berdua bukanlah orang yang berpendidikan tinggi karena pendidikan bapak ibu saya hanya setara SMP sekarang. Dan menyekolahkan kami empat bersaudara ini ke jenjang perguruan tinggi bagi kami anak-anaknya ini adalah warisan yang tak ternilai harganya. Selanjutnya kami mau "jadi apa" selepas kuliah adalah sepenuhnya diserahkan kepada kami anak-anaknya. Dan Alhamdulillah juga ketiga adik saya sudah mandiri semua (satu bekerja di bagian accounting di salah satu pusat perbelanjaan, satu PNS di DEPKUMHAM, dan si bunggu Ana bekerja sebagai guru bahasa Inggris). Hanya saya saja yang memutuskan berhenti bekerja setelah menikah. Semua itu sudah sangat membahagiakan hati orang tua saya.

bapak-ibu saya, dan Mas Dalijo (seorang MC yang cukup dikenal di Yogyakarta)


Dan sekarang di saat kami empat bersaudara ini sudah mandiri semua, ibu bapak saya tetap saja masih menekuni usahanya. Meskipun sudah kami larang untuk bekerja, tapi mereka ternyata bukanlah tipe orang yang maunya hanya "duduk-duduk" manis di usia senjanya. Padahal sebenarnya bapak sudah mulai sering mengeluh akan ginjalnya. Tapi karena bapak saya ini juga tipikal keras kepala (seperti saya juga), maka agak susah pula menasehatinya. Maklum kami punya weton lahir sama, bulan lahir juga sama, apa hubungannya ya? Kalo orang Jawa sih bilangnya ada hubungannya, walaupun saya sendiri kurang paham. Penyakit itu sepertinya tidak terlalu dihiraukannya. Dan di ulang tahunnya yang ke 61 kali ini saya hanya bisa berdoa, semoga bapak panjang umur, tetap sehat, dan tetaplah menjadi pemimpin walaupun tanpa ijasah. Begitu pula dengan ibu saya tetap sehat dan sabar mendampingi bapak.





2 komentar:

  1. Nice story, Mbak Edy.
    Tapi kok gimana ceritanya bisa nyasar sampai ke Bontang, Kaltim , heheheheheheh

    BalasHapus
  2. makasih mas Abieomar..
    nyasar ke Bontang karena suami saya kerja di Bontang mas hehehe
    dulunya dia teman satu kampus di UGM, gitu ceritanya...

    BalasHapus